Akademisi: Terminologi Narkopolitik Tak Jauh Beda dengan Kelompok Kriminal

benuanta.co.id, TARAKAN – Politik memiliki esensi tentang kejujuran, kompetisi, dan kesukacitaan, namun bagaimana jika esensi politik tersebut mulai bergeser akibat muncul sebuah fenomena narkopolitik yang merupakan sebuah eksperimen kriminal dengan menjadikan kekuasaan sebagai alat memperkaya diri.

Berdasarkan laporan sejumlah media pada Maret 2023 lalu, Bareskrim Polri mengungkap temuan aliran dana politik dalam pemenangan pemilu 2024. Dalam hal tersebut Kepala BNN Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose menyebut bahwa praktik gelap tersebut adalah narkopolitik. Narkopolitik merupakan terlibatnya tokoh politik dalam peredaran bisnis barang haram yang tujuannya untuk menyukseskan kepentingan pribadi. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena tersebut terindikasi mulai menyebar di Provinsi Kalimantan Utara khususnya di Kota Tarakan.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Kaltara, Irsyad Sudirman, M.A., M.I.P dalam hal ini menjelaskan, Sebuah fenomena sosial yang sangat menarik dan perlu menjadi atensi bagi seluruh elemen bangsa dan khususnya untuk ketahanan nasional maupun masa depan generasi emas Indonesia yang sedang berkembang. Saat ini Indonesia sedang menikmati bonus demografis nasional namun tidak diimbangi oleh pemerataan kesejahteraan ekonomi dan keadilan hukum yang merata di setiap daerah.

Narkopolitik kini menjadi sebuah terminologi baru atau ilmu tentang istilah dan penggunaannya. Dalam mengidentifikasikan sekelompok kriminal yang bersembunyi dalam topeng-topeng kekuasaan dan memanfaatkan sebagai alat untuk meraih oligopoli. Oligopoli secara sederhana didefinisikan sebagai jenis pasar dimana jumlah produsen atau penjualnya lebih sedikit, sedangkan pembelinya relatif banyak. ‘’Dalam kaitan ini, Narkoba adalah salah satunya,’’ ucapnya pada Rabu (12/7/2023).

Baca Juga :  Ratusan Kasus Diungkap Polres Nunukan Sepanjang 2024, Ada Kasus yang Meningkat

Irsyad menilai terminologi Narkopolitik sebenarnya juga tidak tepat menyebut kelompok kriminal sebagian dari politik. Namun eksperimen politik yang dilakukan oleh para ilmuan, politisi, birokrat di Indonesia menyebabkan istilah tersebut menjadi populer.

Sebagai akademisi yang membidangi politik, Irsyad memberikan sudut pandang bahwa politik adalah semua pertunjukan kekuasaan. Baik dalam meraih, mempertahankan maupun bermain peran. Politik pada sejatinya adalah expression of action, yang merupakan sebuah ekspresi dalam bentuk tindakan nyata menjadi kebijakan yang harus diikuti oleh mayoritas manusia (suka ataupun terpaksa).

‘’Jika terminologi narkopolitik disamakan sebagai manusia yang berekspresi dengan kekuasaan untuk goal menjual produk ilegal, maka hal tersebut bukanlah termasuk politik melainkan sudah masuk ke ranah kriminal yang mengambinghitamkan politik,’’ terangnya.

Lebih dalam Irsyad menyampaikan bahwa golongan tersebut bisa dikategorisasikan sebagai kelompok machevillian yakni sekelompok manusia yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Politik modern dewasa ini sejak abad ke 19 sudah meninggalkan perilaku tersebut menuju perilaku politik yang memiliki peradaban dan cita rasa seni tinggi.

Politik dalam makna modern adalah seni meraih, mempertahankan kekuasaan serta mempengaruhi orang agar mengikuti keinginan kekuasaan secara mutlak tanpa orang tersebut sadar bahwa ia telah menjadi bagian dari kekuasaan atau sebaliknya.

Baca Juga :  Kasus Korupsi Besar pada 2024 yang Ditangani Kejagung

‘’Bisa dikatakan secara sukarela menyerahkan dirinya menjadi obyek atau subyek kekuasaan. Keindahan politik tersebut berada di prosesnya bagaimana seseorang saling mempengaruhi untuk mengikuti tindakan masing-masing tanpa ada unsur sakit hati, dendam dan pertikaian, dalam hal tersebut politik itu memiliki esensi kejujuran, kompetisi, keadilan, dan kesukacitaan,’’ bebernya.

Berpolitik berarti harus menghilangkan emosi dan egoisme artinya merupakan tindakan berkuasa, meraih dan mempertahankan bagi kepentingan orang banyak.

Bagi Irsyad, narkopolitik merupakan sebuah eksperimen kriminil yang mencoba menjadikan kekuasaan sebagai alat memperkaya diri. Terminologi ini sama hal seperti klandestin, kartel, mafia.

‘’Kelompok ini aktif dalam menjalankan ajaran politik michevillian yang sudah tidak dianggap sebagai bagian dari ilmu politik itu sendiri,’’ tegasnya.

Irsyad menegaskan, pada sejatinya kelompok narkopolitik merupakan kriminal semata. Artinya kelompok tersebut tidak peduli dengan politik dan politik hanya dijadikan sebagai tunggangan untuk melancarkan bisnis kotornya.

‘’Orang-orang seperti itu harus keluar dari politik karena memang bukan politisi melainkan kelompok pengangguran berdasi yang lagi mencari nafkah dengan cara tidak baik,’’ kesalnya.

Irsyad menambahkan, dunia politik masa kini telah banyak di isi oleh orang-orang yang sejatinya tidak memahami esensi politik. Kebanyakan di isi oleh para manusia dengan pemikiran praktis sehingga menyebabkan ilmu politik menjadi jauh dari makna seni yang sebenarnya.

Di Indonesia pada khususnya melahirkan manusia yang culas, baperan, rakus dan pelanggar hukum, padahal ilmu politik sendiri mengajarkan sikap santun, berkeadilan, bersaing visi dan misi serta kegembiraan. ‘’Hal ini harus segera di ubah dan dikembalikan ke makna asalnya,’’ harapnya.

Baca Juga :  Kaleidoskop 2024: Laka Lantas di Tarakan Menurun, Jumlah Tilang Meningkat

Irsyad menyarankan agar kelompok narkopolitik segera menghentikan rekayasa atau eksperimen politik yang sudah semakin jauh arahnya dari agenda reformasi, ia meminta agar esensi politik dan konsep demokrasi Indonesia berasas Pancasila. Selain itu, bercermin pada otonomi khusus Aceh bahwa sistem politik di bangun dari daerah. Maka masing-masing daerah wajib diberikan kebebasan membentuk partai dan menyusun DPRD berdasarkan parpol daerah dan membangun politik lokal dengan pilkada melalui partai politik daerah.

‘’Sudahi pemikiran dangkal bahwa daerah tidak memiliki sumber daya unggul,’’ ungkapnya.

Kemudian pilpres secara nasional dipilih berdasar parpol nasional yang sudah ada dan perlu dirampingkan dengan konsep nasionalis, agamis, dan sosialis. Selain itu perlu membangun sistem kebangsaan dengan system dual faces model atau federalistis dalam Negara kesatuan.

Ia menambahkan jika sistem legalisasi dibagi dalam 2 pilar yaitu legislatif nasional berupa MPR dan DPR yang dipilih melalui parpol nasional. Dan MPRD dan DPRD yang dipilih melalui parpol lokal.

‘’Kebijakan jangka panjang dibuat secara nasional, sedangkan kebijakan jangka menengah dibuat oleh masing-masing daerah dengan memperhatikan sosial budaya setempat,’’ tutupnya.(*)

Reporter: Okta Balang

Editor: Ramli

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *