benuanta.co.id, SULSEL – Wacana perpanjangan masa jabatan Kepala Desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun sarat dengan kepentingan memasuki tahun politik pada Pemilu dan Pilkada 2024.
Wacana perpanjangan ini digulirkan oleh
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar. Kemudian diikuti dengan aksi demonstrasi ribuan kepala desa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dalam tuntutannya mereka meminta masa jabatannya ditambah karena jangka waktu enam tahun dirasa tidak cukup untuk membenahi desa. Polarisasi warga yang sulit diredam dan cenderung memanjang akibat pemilihan kepala desa, sehingga membuat pekerjaan kepala desa terpilih menjadi sulit untuk terealisasi dalam 6 tahun.
Hanya saja massa aksi itu ternyata tidak semua diikuti oleh kepala desa di seluruh Indonesia, hanya berasal dari daerah tertentu. Informasi lain menyebutkan bahwa wacana perpanjangan ini menuai pro dan kontra di lingkup Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi).
Serta wacana perpanjangan tersebut banyak mendapat penolakan khususnya terkait revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sebab banyak pihak yang menilai, revisi UU Desa tersebut memprioritaskan pembenahan tata kelola pembangunan desa mulai dari perencanaan, penganggaran, dan terkait implementasi pembangunan serta mengoptimalkan peran Badan Permusyawaratan Desa, bukan perpanjangan masa jabatan.
Anggota DPD RI dari daerah pemilihan Sulsel, Ajiep Padindang menyebutkan, usulan revisi undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) jangka panjang menengah 2019 – 2024, tapi belum pernah masuk prioritas tahunan.
Menurut Ajiep Padindang, terkait perpanjangan masa jabatan Kepala Desa juga sudah masuk kajian di DPR RI. Begitupun dengan DPD RI tengah mengkaji wacana perpanjangan tersebut.
Diungkapkan Senator tiga periode itu, digulirkannya wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa sarat dengan adanya politisasi. Dia menduga bahwa demonstrasi kepala desa di Senayan memiliki donatur.
“Saya melihat sekarang ada yang politisasi khusus masa jabatan Kades. Jelas unjuk rasa di Senayan itu, kepala desa dibiayai oleh bupatinya atau digantikan uang transportasinya, disiapkan hotelnya, dan lain-lain,” ungkap Ajiep melalui pesan singkat, Selasa, (24/1/2023).
Maka secara tegas, Ajiep menolak adanya perpanjangan masa jabatan kepala desa. Sebaiknya dilakukan pemilihan Kades baru.
Dia mendorong, pemilihan kepala desa dilakukan serentak se-Indonesia.
“Tidak adil kalau Kades yang sudah terpilih untuk 6 tahun diperpanjang menjadi 9 tahun. Saya malahan melihat perlu pemilihan Kades serentak se-Indonesia, supaya jangan tiap tahun ada pemilihan Kades,” tukasnya.
“Memang masa jabatan 6 tahun sekarang, tanggung. Kami di Komite I DPD RI sedang membahas perubahan UU Desa, termasuk masa jabatan kepala desa. Saya pribadi sebenarnya cenderung masa jabatan 5 tahun atau sekalian 10 tahun. Kalau 5 tahun hanya paling tinggi 3 periode. Sedangkan 10 tahun paling tinggi 2 periode,” sambungnya.
Lebih jauh, Ajiep menilai, alasan perpanjangan masa jabatan kepala desa karena untuk menghentikan terjadinya polarisasi atau konflik di masyarakat pasca Pilkades tidak relevan. Kendati demokrasi di desa sudah semakin dewasa.
“Sebenarnya tanggung juga kalau 9 tahun yang digagas Kemendes, kemudian dijadikan usulan. Alasan konflik masyarakat pasca Pilkades, sehingga perlu ditambah masa jabatannya, itu relatif. Saya melihat secara umum, demokrasi di desa sudah makin dewasa,” tukasnya.
Perpanjangan masa jabatan kepala desa juga menuai sorotan dari Lembaga Anti Korupsi bentukan mantan Ketua KPK, Abraham Samad, Anti Corruption Commitee (ACC) Sulawesi. Bagi ACC wacana tersebut tidak relevan dilakukan.
Apalagi berdasarkan catatan ACC Sulawesi
salah satu sektor dengan angka korupsi terbanyak yang terjadi sepanjang 2022 di Sulsel yaitu penyalahgunaan dana desa, ada 15 kasus.
Wakil Ketua Internal ACC Sulawesi Anggareksa mengatakan, terkait revisi undang-undang nomor 6 tahun 2014 seharusnya memperkuat pengawasan penggunaan dana desa. Kemudian perlu pembenahan adalah SDM di desa, agar tidak terjadi lagi korupsi kedepannya.
“Rencana Perpanjangan masa jabatan kepala desa adalah kemunduran demokrasi di Indonesia. Masa jabatan yang terlalu lama dapat menimbulkan kesewenang-wenangan,” ujar Angga menandaskan.(*)
Penulis: Akbar
Editor: Ramli