Oleh:
Bagus Utomo
(ASN Kementerian Keuangan)
SETIAP negara pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai, tidak terkecuali negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia memiliki tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satu kendala dalam mewujudkan tujuan tersebut adalah keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Dalam upaya mewujudkan tujuan negara, diperlukan anggaran negara guna memaksimalkan manfaat dari sumber daya yang ada. Anggaran inilah yang selanjutnya dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada tanggal 1 Desember 2022, Presiden Joko Widodo menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Daftar Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) Tahun Anggaran (TA) 2023. Acara yang berlangsung di Istana Negara tersebut sekaligus menjadi simbol dimulainya pelaksanaan APBN Tahun 2023. APBN bukan milik Kementerian Keuangan atau pemerintah semata, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia. APBN adalah uang kita, sehingga masyarakat perlu bersama-sama mengetahui, memahami, dan mendukung APBN dalam membangun negeri yang kita cintai ini.
Meskipun kita sering mendengar istilah APBN, nyatanya masih terdapat masyarakat yang belum memahami apa itu APBN. APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang dibahas dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). APBN menjadi acuan agar penggunaannya sesuai dengan rencana dan bisa dialokasikan sesuai dengan porsinya.
Dalam rangka mencapai tujuan bernegara, APBN memiliki enam fungsi, yaitu (i) fungsi otorisasi, APBN menjadi dasar pelaksanaan pendapatan dan belanja tahunan; (ii) fungsi distribusi, bahwa anggaran negara wajib memerhatikan keadilan dan rasa pantas, mencapai sama rasa dan sama rata antar wilayah dan daerah, sehingga kelas sosial dan jarak antar rakyat satu dengan yang lainnya akan berkurang; (iii) fungsi alokasi, APBN harus digunakan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian; (iv) fungsi pengawasan, APBN menjadi pedoman untuk menilai kegiatan yang telah dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah, apakah sudah sesuai dengan yang telah ditetapkan; (v) fungsi perencanaan, APBN menjadi acuan dalam merencanakan berbagai kegiatan dalam satu tahun; dan (vi) fungsi stabilisasi, APBN menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Setelah mengetahui definisi dan fungsi APBN, kita juga perlu mengetahui struktur APBN atau biasa disebut dengan Postur APBN, meliputi:
Pendapatan Negara
Ibarat sebuah mobil, pendapatan negara merupakan bahan bakar untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Pendapatan negara merupakan hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas penerimaan perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan penerimaan hibah. Penerimaan perpajakan merupakan sumber pendapatan utama. Pada APBN TA 2023, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp2.021,2 Triliun (82% dari total pendapatan negara). Sektor perpajakan terus menunjukkan perbaikan. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah penerimaan pajak, tax ratio, dan tingkat kepatuhan pajak.
PNBP juga menyumbang pendapatan negara yang cukup besar, yakni Rp441,4 Triliun (18%). PNBP bersumber dari PNBP Sumber Daya Alam (SDA), PNBP Kekayaan Negara Dipisahkan (KND), PNBP Lainnya, dan Pendapatan Badan Layanan Umum.
Belanja Negara
Belanja negara merupakan kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja pemerintah pusat dan TKD. Belanja pemerintah pusat dituangkan dalam dokumen DIPA, sedangkan TKD dimuat dalam dokumen Daftar Alokasi TKD. Kedua dokumen inilah yang secara simbolis diserahkan oleh Presiden kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Kepala Daerah di Istana Negara.
Belanja pemerintah pusat digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan Pemerintah Pusat, baik yang melalui Kementerian/Lembaga (K/L) atau non K/L. Menurut fungsinya, belanja Pemerintah Pusat terdiri dari 11 (sebelas) fungsi, meliputi: pelayanan umum, ekonomi, pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, pertahanan, pariwisata, agama, ketertiban dan keamanan, lingkungan hidup, dan fungsi perumahan dan fasilitas umum. Berdasarkan jenisnya, Belanja Pemerintah Pusat dapat dibedakan menjadi belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja pembayaran kewajiban utang, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
Di sisi lain, TKD merupakan dana yang bersumber dari APBN yang disalurkan kepada daerah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. TKD terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Desa, dan dana transfer lainnya (Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan DIY, dan Dana Insentif Daerah).
Surplus/Defisit Anggaran
Surplus/defisit anggaran terjadi karena adanya selisih/gap antara pendapatan dan belanja. Pendapatan yang lebih besar menimbulkan adanya surplus anggaran, sedangkan kondisi sebaliknya disebut defisit anggaran. Mungkin sering muncul pertanyaan, kenapa APBN menganut kebijakan defisit? Padahal kebijakan ini menyebabkan negara harus berhutang dengan bunga yang tidak sedikit. Kenapa tidak memilih kebijakan berimbang atau bahkan surplus?
Dalam penyusunan APBN, terdapat dua pilihan kebijakan, defisit atau surplus. Kebijakan defisit menjadi pilihan ketika tujuan makro ekonomi dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehingga pemerintah lebih banyak melakukan pengeluaran (ekspansif). Sebaliknya, kebijakan surplus dipilih jika tujuan anggaran adalah mengendalikan laju pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah mengurangi pengeluarannya (kontraktif).
Sejak tahun 2003 APBN kita menganut kebijakan defisit. Kebijakan ini dilakukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan menggenjot sisi produksi yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembiayaan defisit anggaran yang digunakan untuk memperluas kapasitas produksi tidak akan memberatkan generasi mendatang. Namun jika hal itu digunakan untuk konsumsi akan membahayakan perekonomian dalam jangka panjang.
Meskipun menganut kebijakan defisit, pemerintah selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudent), yakni membatasi defisit anggaran maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini terlampaui pada tahun 2020-2022 karena adanya penanggulangan COVID-19. Sejalan dengan pemulihan ekonomi, defisit APBN TA 2023 ditetapkan sebesar Rp598,2 Triliun (2,84% dari PDB).
Pembiayaan Anggaran
Pembiayaan anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan anggaran berasal dari pembiayaan utang. Selain berfungsi untuk menutup defisit anggaran, pembiayaan utang juga digunakan untuk membiayai pengeluaran pembiayaan, seperti pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, serta kewajiban penjaminan.
Utang pemerintah harus dikelola secara bijaksana. Nominal utang tidak boleh melebihi batasan yang telah ditetapkan oleh undang-undang, yakni 60% dari PDB. Per 31 Oktober 2022, utang pemerintah mencapai Rp7.496,7 Triliun (38,36% dari PDB), menurun dari periode yang sama tahun lalu sebesar 39,96%. Adapun komposisinya terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 88,97% dan pinjaman (11,03%).
Nah, setelah kita memahami APBN, kita bisa mulai mengambil peran dari hal-hal yang ada di sekitar kita, misalnya dengan merawat fasilitas umum, belajar dan bekerja dengan baik, membayar pajak dan seterusnya. Kenapa kita harus dukung dan kawal APBN? Karena APBN itu Uang Kita, dari Kita, dan untuk Kita.(*)