benuanta.co.id, TANA TIDUNG – Terkaman buaya kembali memakan korban di Kabupaten Tana Tidung (KTT). ZA yang merupakan warga Sesayap Hilir, merengang nyawa setelah diserang seekor buaya saat hendak memancing ikan di Sungai Supa Jalan Poros Desa Bebatu, Senin 20 Desember 2021.
Menurut Kepala Desa (Kades) Bandan, Yuliansyah, warga yang diterkam buaya ini bukan pertama kalinya terjadi di desanya. Kejadian serupa dulunya sudah sering terjadi di kawasan itu dan memang sejak dulu disebut sarang buaya.
“Kita hitung dari dulu-dulunya lagi ya, sudah sering kejadian di sini. Karena dari dulu sampai sekarang kan, kawasan ini memang sarang buaya,” kata Yuliasnyah kepada benuanta.co.id, Selasa (21/12/2021).
Meski demikian, warga sekitar juga tak asing dengan kehadiran predator buas ini. Sangking akrabnya, berbagai mitos pun bermunculan di kalangan masyarakat, khususnya mitos terkait kematian yang diakibatkan terkaman buaya.
Menurut Yuliansyah sejak jaman nenek moyang, suku Tidung sangat mempercayai jika kematian manusia akibat dimakan buaya bukan lah kematian biasa yang didasari oleh rasa lapar buaya, atau sang predator merasa perairannya terusik. Melainkan karena adanya pantangan-patangan tertentu yang dilanggar oleh masyarakat.
Baca Juga :
- Korban Diterkam Buaya Belum Ditemukan, Pencarian Libatkan Pawang
- Mancing di Sungai, Warga KTT Tewas Diterkam Buaya
- Mancing di Sungai, Warga KTT Tewas Diterkam Buaya
“Ini kepercayaan orang dulu di sini, jika hendak memancing atau bermain di sungai. Maka jangan berani menolak makanan, karena nanti bisa berakibat buruk, biasanya kami bilang kepuhunan” ungkap Yuliansyah.
Tidak hanya mitos mengabaikan makan dan minum yang kerap disebut kepuhunan oleh warga sekitar itu saja. Kata Yuliansah, mitos Sisik ternyata juga sangat kental di kalangan suku Tidung, terkait kematian manusia akibat buaya. Konon, mitos-mitos ini begitu sangat dipercayai oleh warga setempat sejak dulu.
Mitos Sisik tak lain merupakan kepercayaan warga sekitar adanya tanda, atau bawaan lahir yang menandakan kalau orang tersebut sudah ditakdirkan untuk mati dimakan buaya.
“Tanda-tanda seperti itu biasanya hanya bisa dilihat oleh orang tertentu saja. Dan memang benar, setiap orang yang memiliki Sisik itu, kalau bermain ke sungai pasti diikuti oleh buaya. Padahal di sungai banyak orang. Tapi pasti orang yang punya tanda itu saja yang jadi sasaran buaya. Makanya warga dulu sangat percaya dengan mitos itu,” jelasnya lagi.
“Makanya kita suka waktu kecil, pasti dilakukan ritual melepas sisik terlebih dahulu. Dengan harapan kita tidak mati dimakan buaya. Makanya jangan heran kalau orang Tidung dulu, itu kerjanya menangkap buaya sampai ke sarang-sarangnya. Jikapun ada buaya, buaya itu tetap tenang berada di dekat kita,” terangnya.
Terlepas dari semua mitos itu, Yuliansyah tetap mengakui seiring perkembangan jaman kepercayaan orang terhadap semacam hal itu juga akan berkurang. Namun, untuk berjaga-jaga dia bersama warga setempat selalu saling meningatkan agar berhati-hati ketika melakukan aktivitas di sekitaran sungai Bebatu.
“Itukan hanya mitos, kalau sekarang sudah berbeda. Tapi kita kalau liat ada orang di sungai, itu selalu kita tegur. Karena memang banyak buayanya. Terlepas percaya atau tidak, itu semua tergantung dari pribadi masing-masing,” tutupnya. (*)
Reporter : Osarade
Editor : Yogi Wibawa/Nicky Saputra