benuanta.co.id, BULUNGAN – Menindaklanjuti surat dari Kepala BNPT Nomor KR.01.00/102/2021 perihal pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme (RAN PE) tahun 2020-2021 di Wilayah Provinsi Kaltara.
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kaltara laksanakan kegiatan sosialisasi paham intoleransi, dengan beberapa narasumber berkompeten. Di antaranya Kepala BIN Daerah Kaltara Brigjen TNI Sulaiman, Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara Datu Iskandar, Dirbinmas Polda Kaltara Kombes Pol Eri Dwi Hariyanto.
Dalam pantauan Badan Intelijen Negara, Provinsi Kaltara dibandingkan daerah lain relatif lebih aman dari potensi radikalisme, penyebaran paham ekstremisme dan aksi terorisme.
“Jadi suasana di Kaltara juga lebih tenang dan relatif aman dibandingkan provinsi lainnya,” ungkap Kabinda Kaltara Brigjen TNI Sulaiman kepada benuanta.co.id, Rabu (25/8/2021).
Dia menuturkan pihaknya merangkul berbagai macam elemen masyarakat agar berperan dalam menangkal paham ekstremisme, terorisme dan radikalisme. Tujuannya untuk menciptakan wilayah Kaltara yang damai dengan berbagai ras suku dan agama di dalamnya.
“Kita merangkul berbagai elemen masyarakat untuk terciptanya wilayah damai. Termasuk merangkul media agar bisa menangkal berita hoaks,” paparnya.
Sulaiman mengatakan, bentuk keberhasilan dalam menjaga kondusifitas itu tidak lepas dari perannya yang melakukan komunikasi langsung dengan aktor-aktor yang berpotensi menyebarkan paham, dan yang akan menunjukan dirinya ke muka publik.
“Kita di Kaltara ini damai, kalau ada yang ingin tampil kita langsung berkomunikasi dengan mereka,” bebernya.
Sementara itu Ketua FKPT Kaltara Datu Iskandar melihat Kaltara merupakan wilayah yang rawan. Pasalnya Kaltara berbatasan langsung dengan negara tetangga, Malaysia dan juga menjadi jalur ke Filipina.
“Jadi Kaltara adalah daerah perbatasan yang rawan paham doktrin radikalisme dan terorisme. Selain itu tindak kejahatan lain juga kerap terjadi seperti penyelundupan, narkoba dan senjata api,” ujar Datu Iskandar.
Lahirnya doktrin radikalisme dan terorisme ini sendiri, kata Datu Iskandar, berasal dari perbedaan pandangan politik, ekonomi dan berita hoaks dari media sosial.
“Ini mempengaruhi pola kelompok sosial masyarakat tertentu di kalangan kita,” katanya.
Lanjutnya, berdasarkan hasil survei di tahun 2021 penggunaan internet oleh masyarakat Indonesia mencapai 67 persen dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 267 juta jiwa. Dari besaran penggunaan internet ini berpotensi besar melakukan penyebaran berita hoaks dan paham radikalisme kepada orang lain.
“Bahaya internet itu banyaknya akun palsu yang ada di media sosial yang menyiarkan berita negatif, isinya berbau politik dan kadang membawa nama agama,” paparnya.
Datu menambahkan, orang yang terpapar radikalisme itu mudah dikenali. Salah satunya anti sosial, kemudian ingin menang sendiri, mudah emosi jika ada orang yang membahas politik dan masalah agama.
“Orang yang terpapar radikalisme itu seperti yang terkena narkoba, kalau narkoba menyerang fisik. Kalau radikal ini jiwanya yang sakit,” tutupnya. (*)
Reporter: Heri Muliadi
Editor : Yogi Wibawa