Korupsi, Mala In Se dan Marwah KPK

Oleh: Pradikta Andi Alvat S.H., M.H.

 

DUA menteri kabinet pemerintahan Jokowi 2019-2024 kini berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan kasus korupsi. Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan non-aktif) dan terbaru, Juliari Batubara (Menteri Sosial) telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Edhy Prabowo sendiri diduga menerima suap sebesar Rp 3,4 miliar dan 100.000 dollar AS terkait izin ekspor benih lobster.

“Pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer rekening dari rekening ABT ke rekening salah satu bank atas nama AF sebesar 3,4 miliar rupiah yang diperuntukkan bagi keperluan EP, IRW (istri EP), SAF dan APM”, demikian rilis KPK yang disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango pada konferensi pers tanggal 25 November 2020.

Di samping itu, pada Mei 2020, Edhy juga diduga menerima uang sebesar 100.000 dollar AS dari Direktur PT DPP Suharjito melalui Safri dan seorang pihak swasta bernama Amiril Mukminin. Edhy Prabowo pun ditetapkan sebagai tersangka dengan dikenakan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Setelah Edhy Prabowo, kini giliran Menteri Sosial Juliari Batubara ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dana bantuan sosial Covid-19. Juliari Batubara diduga menerima uang suap sekitar Rp 8,2 miliar dalam pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama dan Rp 8,8 miliar pada periode kedua. Dengan demikian total Juliari Batubara diduga menerima uang suap sebesar Rp 17 miliar (rilis bbc.com, 6/12/2020). Juliari Batubara sendiri dikenakan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor.

Baca Juga :  Pandangan Ekonom Terhadap Perekonomian Kaltara di Triwulan III Tahun 2024

Kini, total telah ada 4 menteri di era pemerintahan Jokowi yang tersandung kasus korupsi. Idrus Marham, Imam Nachrowi, Edhy Prabowo, dan Juliari Batubara, keempatnya adalah menteri dari golongan parpol. Angka ini menyamai era pemerintahan rezim Megawati dan SBY yang juga sama-sama mengirim 4 menterinya tersandung kasus korupsi.

Menurut analisis saya, ada dua 3 faktor yang menyebabkan para menteri khususnya dari golongan partai politik banyak tersandung kasus korupsi. Pertama, hasrat dan keserakahan. Iklim dan kultur dunia politik yang sangat oportunis dan materialistik telah menanamkan karakter demikian kepada setiap orang yang berkecimpung dalam dunia politik.

Kedua, ongkos politik. “Tidak ada makan siang gratis dalam politik” demikian pepatah yang lazim dikenal dalam percaturan politik. Ketika seseorang ditunjuk oleh parpol menjadi menteri untuk mengisi slot jatah dari presiden, maka si menteri tersebut tidak hanya berperan sebagai pembantu presiden namun juga berperan sebagai kepanjangan tangan parpol. Di sinilah beragam sengkarut kepentingan praktis dan kongkalikong kerap terjadi sebagai sarana mendapatkan feedback.

Ketiga, teori cost-benefit. Hukuman pidana yang dijatuhkan relatif tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan (korupsi). Artinya, risiko yang ditanggung tatkala melakukan korupsi lebih kecil dari pada manfaat yang diterimanya. Hal ini membuat tujuan prevensi general (preventif) maupun prevensi khusus (represif) dari suatu pemidanaan tidak mampu tercapai.

Baca Juga :  Pandangan Ekonom Terhadap Perekonomian Kaltara di Triwulan III Tahun 2024

Korupsi adalah Mala In Se

Dalam doktrin ilmu hukum pidana, tindak pidana dapat dibagi dalam dua golongan, mala in se dan mala prohibitia. Mala in se adalah suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan yang jahat bukan karena sekadar diatur dalam UU sebagai tindak pidana, melainkan juga karena secara lahiriah perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajaran, moral, dan prinsip umum masyarakat yang beradab.

Sedangkan mala prohibitia adalah suatu perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana karena secara formal diatur dalam UU sebagai tindak pidana. Menurut Jeremy Banthem, suatu perbuatan yang tergolong sebagai mala prohibitia bersifat not immutable (dapat berubah), artinya dalam ruang dan waktu yang berbeda perbuatan tersebut bisa saja dilakukan dekriminalisasi. Sedangkan mala in prohibitia bersifat immutable (tetap), artinya dalam ruang dan waktu kapanpun suatu perbuatan tidak bisa dirubah sebagai bukan tindak pidana.

Tindak pidana korupsi sendiri tergolong sebagai mala in se. Perbuatan yang secara lahiriah diametrikal dengan prinsip norma, nilai, keadaban, dan moral. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan yang tergolong mala in se sangat pantang untuk dilakukan oleh para pejabat publik, terlebih sekelas menteri. Pejabat publik adalah pemimpin rakyat yang bekerja atas sumpah. Maka, sangat teramat tidak elok apabila perbuatan mala in se dilakukan oleh para pejabat publik. Hukuman yang berat pantas dijatuhkan kepada para pejabat publik yang melakukan perbuatan-perbuatan mala in se termasuk tindak pidana korupsi.

Baca Juga :  Pandangan Ekonom Terhadap Perekonomian Kaltara di Triwulan III Tahun 2024

Marwah KPK

Sebelum penangkapan Edhy Prabowo dan penetapan tersangkan Juliari Batubara yang notabene adalah dua “petinggi” pemerintahan pusat, kredibilitas KPK baik sebagai institusi kelembagaan maupun secara personal individu relatif mendapatkan presepsi yang kurang positif di mata masyarakat. Revisi UU KPK dan kasus pelanggaran etik yang menimpa Ketua KPK, Firli Bahuri semakin menipiskan harapan dan rasa kepercayaan masyarakat terhadap kapabilitas dan indepedensi KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di negeri ini.

Namun atensi dan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja KPK periode ini mulai tumbuh ketika KPK mampu dan “berani” mengungkap kasus dugaan korupsi yang melibatkan dua menteri yang notabene berasal dari dua parpol penguasa, PDIP dan Gerindra. Hal ini harus menjadi titik momentum untuk mengembalikan kembali marwah KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi yang berani dan tanpa pandang bulu.

Titik momentum itu diawali dengan pengungkapan kasus dugaan korupsi yang menimpa Edhy Prabowo dan Juliari Batubara hingga tuntas. Selanjutnya, bagaimana KPK meningkatkan kinerja fungsinya baik secara preventif maupun represif untuk memberantas korupsi. Jika KPK mampu menjalankan fungsinya secara tegak lurus, maka saya yakin segenap rakyat Indonesia akan selalu mendukung dan menaruhkan harapannya kepada KPK untuk membungkus para tikus-tikus berdasi.(*)

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *