Oleh : Des Novel
(Mahasiswa Kampus STPMD “APMD” Yogyakarta)
DI TAHUN 2020 ini banyak hal maupun aktivitas yang tertunda dikarenakan penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) yang semakin hari tidak menunjukkan gelagat mereda. Dibuktikan dengan data terakhir oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 (Satgas Covid-19) di Indonesia menyatakan yang positif berjumlah 271.339 jiwa, sembuh 199.403 jiwa dan meninggal berjumlah 10.308 jiwa. Artinya penyebaran Covid-19 di Indonesia terus meningkat dan berbanding terbalik dengan jumlah yang sembuh.
Sementara di sisi lain sebentar lagi penyelaksanaan pilkada akan dilakukan di tengah gencarnya penyebaran Covid-19, yang semakin hari semakin mengancam keselamatan setiap orang dan di saat itu pula pemerintah tetap gigih untuk melaksanakan pilkada.
Pemerintah menyebut negara Singapura dan Korea Selatan adalah dua negara yang berhasil menggelar pesta demokrasi saat pandemi. Korea Selatan menjalankan pesta demokrasi dengan prosedur kesehatan yang ketat seperti pengecekan suhu tubuh, penggunaan penyanitasi tangan, sarung tangan plastik sekali pakai, masker juga hanya boleh dilepas ketika panitia melakukan pencocokan wajah dengan kartu identitas.
40% pengguna hak suara di Korea Selatan, memanfaatkan pemilihan dini yang dibuka selama dua hari berturut-turut yakni 10 sampai dengan 11 april tahun 2020. Bahkan 60 ribu warga yang menjalani karantina mandiri memberi suara di TPS satu jam sebelum proses pemilihan selesai. Serta TPS khusus bagi pasien positif Covid-19.
Sedangkan singapura melakukan kampayenya secara online melalui live streaming, pemilihan dilakukan secara bertahap, dengan menambah jumlah TPS, penetapan waktu tertentu untuk memberikan suara, dan konsistensi dalam menjaga jarak antar individu. Sementara Pilkada Indonesia tidaklah seperti di negara Korea Selatan dan Singapura.
Banyak pihak sudah mengingatkan pemerintah untuk menunda pelaksanaan pilkada 2020 demi menghindari penyebaran Covid-19 yang semakin banyak. Tetapi pemerintah mengabaikan masukan tersebut dan mengklaim Pilkada 2020 akan aman dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Namun, pemerintah seolah lupa ada syarat dan ketentuan yang diterapkan sebelum dan sesudah pemilu.
Apakah pemerintah saat ini lebih memilih hak politik dibandingkan dengan hak keselamatan masyarakatnya sendiri. Sejumlah pihak mengkhwatirkan keputusan pemerintahan untuk tetap mengelarkan Pilkada ditengah situasi pandemi yang tidak menunjukkan gelagat meredah dan juga mengkhwatirkan potensi pelanggaran protokol kesehatan yang akan banyak terjadi di saat melaksanakan aktivitas-aktivitas kempanye para calon-calon kontestan Pilkada.
Hal ini membuat publik makin bertanya-tanya bisakah kontestasi Pilkada ke depan bisa benar-benar mematuhi protokol kesehatan? Dan seharusnya pemerintah lebih mengutamakan hak keselamatan dan kesehatan ketimbang hak politik.
Hak politik merupakan bagian dari hak-hak absolut yang dimiliki oleh warga negara dan tidak boleh dikurangi walaupun dalam keadaan darurat, termasuk dalam hak memilih dan dipilih dalam Pilkada pada masa pandemi.
Sementara hak keselamatan adalah hak atas kenyamanan, keamanan, kesehatan dan kesejahteraan manusia disebuah wilayah. Sekaligus untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Di sini saya memberikan tanggapan mengenai pertas demokrasi yang akan di laksanakan.merebahnya covid 19 sangat membuat seluruh dunia terguncang termasuk Indonesia terkhususnya daerah kalimantan Utara .oleh karena itu,secara garis besar Masi banyak hal yg harus di pertimbangkan bukan saja hak keselamatan saja dan hak politik saja melainkan hak keadilan dan kesejahteraan masyarakat harus di perhatikan.Suka atau tidak suka pesta demokrasi harus di lakukan,akan tetapi pemerintah menganjurkan sangat keras kepada seluruh masyarakat Indonesia agar bisa mematuhi perotokol kesehatan agar di saat merebahnya covid 19 ini agar pesta demokrasi bisa berjalan dengan sebagai mana mestinya yang di inginkan pemerintah.Akan tetapi,setelah pesta demokrasi usai seluruh masyarakat inginkan perubahan yang sangat baik menuju good government.
jika kita menginginkan adanya perubahan untuk kaltara yang lebih sejahtera. maka kita harus terlibat dalam pilkada 9 desember 2020, dan memilih pemimpin yang mampu menjadikan Kaltara Rumah Kita. hanya pemimpin yang menganggap kaltara sebagai rumah, juga akan tulus membangun rumahnya (kaltara). dan kita harus mengakui bahwa 8 tahun kepemimpinan gubernur sebelumnya adalah kemunduran dan kegagalan dalam membangun dan mensejahterakan