benuanta.co.id, TARAKAN – Produk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Kota Tarakan dinilai cukup mahal harganya. Hal tersebut disebabkan karena biaya kemasan atau packaging yang digunakan oleh pelaku UMKM berasal dari luar Kalimantan.
Wakil Wali Kota Tarakan, Effendhi Djuprianto mengatakan kemasan yang digunakan oleh pelaku UMKM sudah sangat bagus hanya saja harganya mahal perlu adanya alat untuk pembuatan kemasan agar menekan harga produk UMKM.
“Packaging-nya itu pesannya dari luar seperti jawa kalau ada alat untuk pembuatan kemasan yang di bantu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) supaya nanti cost (biaya) pembuatan packaging itu lebih murah,” kata Effendhi, Senin (5/6/2023).
Harga kemasan yang di gunakan oleh pelaku UMKM bernilai Rp 3 ribu hingga Rp 8 ribu. Effendhi berharap dengan adanya bantuan dari pemerintah dalam hal penyediaan sarana dan prasarana untuk pembuatan kemasan.
“Kalau untuk menu, rasa dan kualitasnya memang sudah bisa diterima waktu itu masyarakat dari luar negeri seperti Kota Kinabalu dan Tawau tertarik dengan produk UMKM kota Tarakan,” tuturnya.
Tak hanya menyinggung soal kemasan, Effendhi juga membahas soal kelangkaan kayu di Kota Tarakan untuk pelaku UMKM yang bergerak dalam bidang furniture atau mabel yang berbahan dasar baku kayu.
“Persoalan kelangkaan kayu perlu ada bantuan dari mereka (Pemerintah pusat) untuk mempermudah masyarakat berkaitan dengan penerapan kemasyarakatan hutan sosial segera dilaksanakan dan dipelajari lagi regulasinya agar lebih mudah,” terangnya.
Menurutnya, jika hal tersebut bisa dilakukan dengan melegalkan kayu dari daerah kabupaten asal dapat membantu Kota Tarakan menghidupkan UMKM yang mengelola bahan baku kayu menjadi produk.
“Itu bukan hanya untuk kebutuhan di dalam Kota Tarakan ini bisa kita antar pulau kan karena riwayat asal atau dokumen asal diterbitkan adat yang ada di Kabupaten Kabupaten,” jelasnya
Hal tersebut sudah mendapat tanggapan oleh Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) melalui asisten dua. Sekarang yang perlu dikoordinasikan dengan provinsi yaitu berkaitan dengan peraturan p 83 tahun 2016 yang membahas perhutanan sosial.
“Pemerintah Provinsi (Pemprov) harus mempunyai Peta Inventarisasi Area Perhutanan Sosial (PIAPS) yang harus di update setiap enam bulan sekali dan di sosialisasikan agar masyarakat sekitar hutan khususnya adat dan sebagainya bisa melakukan pemanfaatan itu secara legal,” tutupnya (*)
Reporter: Sunny Celine
Editor: Yogi Wibawa