benuanta.co.id, TARAKAN – Konflik antara KPH Tarakan dengan warga terkait klaim Kawasan Hutan Lindung Persemaian belum mencapai kata sepakat. Diduga persolan yang berlarut ini disebabkan oleh tumpang tindihnya regulasi.
Ketua RT 03, Kelurahan Karang Harapan, Kecamatan Tarakan, Semion Baru menjelaskan adanya tumpang tindih di lahan tersebut.
Di kediamannya, Semion menuturkan, pada tahun 1986 silam kawasan tersebut masuk dalam Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Inhutani. Akibat tidak produktif, maka BUMN sektor kehutanan pun membagikan kapling tanah ke sejumlah karyawannya.
“Petanya lengkap kok, semasa camat Andi Tjajo tahun 1986, saat itu warga hanya diizinkan menggarap lahan minimal 1.000 meter dari badan jalan sampai ke Bumik. Karena masih dalam kawasan HPH Inhutani, atas dasar tersebut seorang oknum Staf Wali Kota dan oknum Sekretaris Camat ambil lahan 1.000 meter dari badan jalan,” ucap Semion.
Namun, saat era kepemimpinan Wali Kota Jusuf S.K, kawasan tersebut diklaim sebagai hutan lindung, akibatnya tanah milik oknum mantan pejabat masuk dalam kawasan hutan lindung.
“Tanah yang telah di patok di era Jusuf S.K, kenalah kedua oknum mantan pejabat itu. Oleh Kehutanan pada 2021, patok hutan lindung tersebut ditambah beberapa meter ke depan. Sementara masyarakat telah memiliki tanah yang ada di situ,” bebernya.
Pada 2013, lahan tersebut dijadikan sebagai area penjaga mata air untuk pasokan embung Persemaian, karena dianggap kualitas air cukup bagus. Pada tahun 2013 diketahui suratnya mendekati akhir waktu yang harus diperpanjangkan.
“Sebelum diperpanjang kita rapat agar lahan tersebut dapat dibebaskan kepada warga yang telah menempati lahan tersebut, hasilnya menjadi status Quo, tidak jelas, dan tetap diklaim sebagai hutan lindung,” imbuhnya.
Sebelum diklaim pemerintah, masyarakat terlebih dahulu berada di kawasan hutan lindung dan statusnya adalah hutan merupakan kota.
“Seharusnya di langkah awal, pemerintah melakukan sosialisasi, masyarakat masih awam, karena di kawasan tersebut merupakan area penjaga mata air untuk pasokan warga Kota Tarakan. Jika kualitas air menurun atau tercemar, mau dicari mana lagi,” kata Semion.
Terkait pembangunan masjid, Semion tidak tau menahu tujuannya seperti apa, dia menduga ada pihak lain di balik layar.
Terpisah, Buddu, warga RT 03, sekaligus orang yang dituakan di kawasan tersebut menyampaikan bahwa kawasan yang kini ia tempati dulunya milik PT. Inhutani, statusnya pun telah dilepaskan. Praktis masyarakat masuk ke dalam area ini.
“Seharusnya KPH Tarakan mengawasi kawasan hutan lindung sebelum adanya warga yang bermukim, setelah bangunan berdiri, ada listrik, jalan dan jembatan, barulah KPH Tarakan mengklaim area ini merupakan hutan lindung,” tuturnya.
Buddu menyebutkan, sebagian warga membeli tanah berdasarkan surat pembebasan dari camat dan Kelurahan yang dikeluarkan tahun 1983.
Sementara surat yang ia miliki hanya peta bidang dan kelompok tani. Kini diperkirakan terdapat 50 KK yang telah menempati kawasan hutan lindung Persemaian. Dan kini masih sengketa dengan pemerintah dan tinggal menunggu solusi ke depannya.
Buddu mengaku, jika rumah yang telah dibangun merupakan hasil dari pohon yang telah tumbang di kawasan hutan lindung, “Kayu yang diambil di sini digunakan untuk membangun rumah, kami ambil kayu untuk bangun rumah, bukan untuk dijual,” ungapnya.
Bahkan Buddu sempat berbincang dengan oknum anggota DPRD Tarakan terkait pendirian masjid, “Waktu itu katanya kerja saja itu masjid, usai mediasi, nanti kami akan lakukan peninjauan,” ucapan tersebut yang kini dinanti oleh Buddu.
Alasan audiensi ke gedung DPRD karena merasa terganggu oleh keberadaan KPH Tarakan. “Kami dilarang membangun, kami tidak tau jika kawasan ini merupakan hutan lindung, jika pemerintah ingin ambil tanah ini, silakan, tetapi kasih kami tempat, bagaimana dengan bangunan yang telah berdiri, saya pun tidak pernah melihat patok,” tambahnya.
Pada ulasan sebelumnya, KPH Tarakan berkonflik dengan Warga RT 03 sebagai pengklaim hutan lindung, Buddu mengungkapkan bahwa sebagai warga negara, dirinya berhak menempati tanah negara.
Beberapa dokumen pun ia sebutkan, di antaranya peta bidang, kartu kelompok tani. Serupa, warga lain hanya memiliki surat pajak, bukti jual beli tanah, serta surat pembebasan tanah dari Camat.
Ia mengaku telah mendirikan pondok pada 2006 silam, sementara KPH baru mendirikan plang Kawasan Hutan Lindung Persemaian pada tahun 2021.
Buddu kesal, lantaran Petugas KPH memberi teguran ke warga atas penguasaan hutan lindung setelah warga yang berkisar 50 kepala keluarga telah mendirikan bangunan Rumah serta beberapa sarana dan prasarana lainnya.
Konflik tersebut telah dibawanya ke DPRD Tarakan, kini, Buddu bersama warga menanti janji yang telah diberikan. (*)
Reporter: Oktavian Balang
Editor: Yogi Wibawa