INSPIRATIF, mungkin kata ini layak disematkan untuk kelompok Tenun Floresta yang menenun selendang dan sarung. Kegiatan kelompok ini beralamatkan di jalan Persemaian, Kelurahan Nunukan Tengah Kabupaten Nunukan.
Katarina (52), anggota kelompok Tenun Floresta mengatakan sebelum bergabung dengan kelompok tenun, sudah lama ia menenun di rumahnya sendiri, yang mana bakatnya tersebut sudah turunan dari ibunya.
“Saya dari dulu memang sudah menenun di rumah, alat tenunnya juga buatan ibu saya,” ujar Katarina kepada benuanta.co.id, Ahad, (31/7/2022).
Karena memiliki bakat menenun, lalu tahun 2019, Katarina bergabung dengan kelompok usaha hasil hutan bukan kayu yang dibina oleh UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Utara lalu tergabung dalam kelompok Tenun Floresta.
Di dalam kelompok Tenun Floresta, Katarina yang mengajarkan kepada empat orang ibu-ibu rekan kelompoknya untuk menenun sarung dan selendang asal Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Jadwal menenun kelompok kami itu setiap hari Selasa dan Jumat, tapi setiap hari saya juga melanjutkan menenun di rumah sendiri,” katanya.
Telah banyak produk-produk selendang dan sarung khas NNT yang diproduksi oleh kelompoknya, namun untuk saat ini pasarannya masih lokal Nunukan khususnya di kalangan masyarakat NTT.
Untuk harga satu selendang tenun dengan ukuran lebar 30 cm dan panjang 1,5 cm harganya Rp500 ribu.
“Kalau lebar hanya belasan cm harganya kisaran Rp 200, tapi untuk sarung tenun harganya bervariasi dari Rp 700 ribu hingga Rp 1,2 Juta. tergantung motif,” jelasnya.
Sementara itu, untuk proses pembuatan selendang tenun dengan bahan benang wol membutuhkan waktu kurang lebih satu hingga 2 minggu tergantung motifnya, namun untuk selendang dengan bahan benang sutra bisa memakan waktu kurang lebih satu bulan untuk prosesnya. Lalu untuk sarung tenun, Katarina mengatakan bisa membutuhkan waktu kurang lebih 2 hingga 3 bulan proses menenun.
“Kalau menenun menggunakan bahan benang wol biasanya lebih cepat karena ukuran benangnya yang lebih besar, sedangkan benang sutra pengerjaannya lebih lama karena ukuran benangnya yang tipis dan mudah putus, jadi kita perlu hati-hati sekali.” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Tenun Floresta Nunukan, Lorensius Pati mengatakan kelompok usaha hasil hutan bukan kayu yang dibina oleh UPTD KPH sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 2017, dengan memanfaatkan hasil hutan yang bukan kayu yang dimanfaatkan dari dalam kawasan hutan lindung.
“Jadi, kami dibina oleh KPH untuk mengelola ulat sutra hingga menjadi benang sutra, lalu tahun 2019 kami membentuk kelompok Tenun Floresta ini untuk bisa memanfaatkan benang sutra yang kami olah,” kata Lorensius.
Dijelaskannya, untuk bahan yang digunakan kelompoknya untuk menenun yakni dengan bahan benang wol khusus yang didatangkan langsung dari Lewoleba, Kabupaten NTT.
Sedangkan untuk benang sutera, telur ulat sutra didatangkan dari KPH Gowa, Sulawesi Selatan. Lalu dipelihara oleh kelompok hingga menetas lalu di pintal hingga menjadi benang sutera, untuk proses pewarnaannya dilakukan sendiri dengan menggunakan bahan alami dari dedaunan dan buah-buahan.
“Untuk alat tenunnya kami punya 5 alat, 3 alat kami beli sendiri untuk 2 alat lainnya kami mendapatkan bantuan dari Disperindagkop Provinsi Kaltara,” ungkap Lorensius.(*)
Penulis : Novita A.K
Editor: Ramli