Oleh: Doddy Irvan (pai)
HIMPUNAN Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kalimantan Utara berganti nahkoda. Dari H Udin Hianggio ke pundak Zainal Arifin Paliwang. Gubernur Kalimantan Utara itu akan dilantik Moeldoko, Jumat (4/2) di Jakarta. Kok bisa, Zainal terpilih menjadi Ketua HKTI Kaltara? Apakah dia orang yang tepat? dan bagaimana masa depan pertanian Kaltara ditangannya? Berikut ulasannya.
Tulisan ini harus mundur 3 tahun kebelakang. Agar saya dapat memberikan gambaran, bahwa Zainal Paliwang adalah orang yang layak memimpin HKTI. Organisasi petani terbesar di Indonesia ini harus dipimpin orang yang faham pertanian. Faham pun sebenarnya tidak cukup. Mengutip kalimat revolusioner; “Ketua HKTI itu harus orang yang mampu mencium bau keringat petani.”
Dia harus dekat. Bahkan, bersentuhan kulit. Hingga mampu mendengar dengan jernih keluhan petani. Dan merasakan tetesan keringatnya. Tanpa perantara.
Dulu HKTI Kaltara dipimpin H Udin Hianggio. Bukan karena Wakil Gubernur. Tapi H Udin Hianggio adalah praktisi pertanian. Bisa dibilang Pak Udin adalah petani yang jadi politisi. Yah, beliau petani Lada di Mangku Padi. Jadi faham urusan pertanian. Makanya ia ditunjuk menjadi Ketua HKTI Kaltara di periode pertama.
Sedangkan Zainal bisa dilihat dari kiprahnya sejak menyandang posisi Gubernur. Hampir seluruh wilayah yang memiliki potensi pertanian ia datangi. Berdialog dan bahkan mencarikan jalan keluar persolan yang dihadapi petani setempat. Tapi sejatinya, bukan ini yang menjadi penilaian. Jauh sebelum dia menyandang jabatan Gubernur Kaltara.
Peristiwa itu terjadi sekitar tiga tahun lalu di Jakarta. Tempatnya di salah satu kantor di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Kantor itu dekat dengan rumahnya. Di situlah kawan saya Hiras Simorangkir bekerja. Ia dan timnya mengundang khusus Zainal yang kala itu masih menjabat Wakapolda Kaltara. Kami ingin mendengar langsung visi Zainal tentang Kaltara ke depan. Kenapa Zainal? Ya, kala itu, Zainal dianggap salah satu tokoh yang memiliki peluang maju di kontestasi Pemilihan Gubernur. Namanya tetiba masuk radar. Banyak yang penasaran. Termasuk Hiras. Saya bersama Akbar Syarif, ikut mendampingi Zainal.
Pertemuan itu berlangsung sekitar dua jam. Di kesempatan pertama, kami mendengarkan paparan Zainal. Isinya mencengangkan. Jika di persentase, hanya 20 persen bicara politik dan keamanan, sesuai latar belakangnya sebagai polisi. Sisanya 80 persen, Zainal membahas sektor riil. Pertanian dan perikanan.
Ini tokoh unik. Biasanya, calon politisi membahas materi yang dikuasainya. Harusnya, Zainal lebih banyak berbicara soal keamanan. Seperti penanganan narkoba atau sejenisnya. Namun dia begitu faseh bicara pertanian. Ia seperti seorang petani bukan polisi.
Zainal memaparkan potensi pertanian. Dipetakan per daerah. “Malinau dan Bulungan harus menjadi lumbung padi. Nunukan dan KTT pusat tanaman sayur dan buah-buahan. Biarlah Tarakan menjadi pusat perdagangan perikanan dan jasa,” jelasnya kala itu.
Kami yang mendengar penjelasannya saling berpandang mata. Tercengang. Ada loh ternyata polisi yang begitu mendalami soal pertanian. Zainal menganggap, pertanian itu seperti mutiara yang terbenam dalam lumpur. Belum mendapat perhatian pemerintah. Padahal sektor ini punya potensi besar.
“Tanah kita luas. Subur. Tapi lihat berapa anggaran pemerintah untuk pertanian?” tanyanya dengan tatapan kosong.
Ia seperti tidak mampu menolak mengkaitkan pertanian dengan politik. Mungkin dalam hatinya berontak. Zainal sadar, para petani yang mencangkul di ladang itu butuh perhatian. Tapi forum itu bukan tempatnya mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun ia tidak bisa hindari.
“Saya sedih melihat petani. Mereka bekerja setiap hari hanya untuk memenuhi kebutuhan perut. Petani kita masih miskin. Dimana pemerintah. Mereka alfa,” keluhnya.
Saya yang ditugaskan memandu forum itu mencoba menetralisir. Sebab Zainal lama terdiam. Dia sepertinya tidak mampu memilih kata-kata yang tepat menggambarkan kekecewaannya. Saat saya bicara baru dua kalimat, Zainal kembali memotong. Nada suaranya kini meninggi.
“Kalau Allah menakdirkan saya menjadi pemimpin di Kaltara, pertanian akan menjadi fokus saya. Tidak ada lagi petani miskin,” tegas Zainal sambil memukul meja.
Suasana hening tiba-tiba berubah renyah. Kami kaget. Akbar Syarif yang berada di sebelahnya berteriak. “Hidup Zainal. Hidup petani.”
Saya menghela nafas panjang. Pertemuan itu hampir mencapai titik yang diinginkan. Ternyata Zainal bukan calon politisi kaleng-kaleng. Yang hanya mengandalkan seragam polisinya. Dia punya sikap dan visi yang jelas. Terutama di sektor pertanian. Gambaran kami tetang sikapnya yang kaku pun sirna.
“Masuk ini barang. Gak nyangka gue, ternyata dia ngerti juga soal pertanian. Gue pikir dia cuma jago nangkap orang,” kata Hiras mengomentari hasil pertemuan itu.
Gak berasa, waktu beranjak petang. Perut mulai keroncongan. Kami pun bergeser nyari makanan. Pilihannya banyak. Maklum kami ada di seputaran Kemang. Pusat kuliner di Selatan Jakarta. Tapi pilihannya tetap, Coto Makassar Ampera. Kami tau, Zainal pasti kangen Coto kampung halamannya. Kuah coto itu sejenak menjadi pilipur lara hatinya yang galau.
Saya pun menjadi lega. Memang tidak ada kesepakatan apa pun dalam pertemuan itu. Tapi, kami menganggap Zainal dapat dijadikan kawan seiring-sejalan. Walau di perhelatan Pilgub akhirnya kami berbeda pilihan. Tapi untuk memimpin HKTI Kaltara, Zainal adalah pilihan pertama. Karena memori kami seperti kembali pada pertemuan di Kemang itu.
H Udin Hianggio, Ketua sebelumnya setuju. Hiras juga ikut meyakinkan DPN dan Ketum Moeldoko. Saya sebagai Sekretaris Dewan Pengurus Provinsi bertugas menyiapkan Musprov. Zainal pun terpilih secara aklamasi, tahun lalu. Walau pun saya akhirnya “tercoret” dari komposisi pengurus saat ini, no problem. Tetap ikhlas dan optimis. HKTI sudah berada di jalur yang tepat. Biarlah saya melihat pelantikan dari kejauhan.
Saya yakin, Zainal akan mampu membawa Kaltara menjadi lumbung pangan. Merebut pasar Ibu Kota Nagara (IKN) Nusantara. Dan bisa memenuhi kebutuhan pangan Kawasan Industri Hijau (KIH) Mangku Padi dan PLTA. Dan dia tetap mampu menghirup bau keringat petani.
Selamat bertugas Pak Ketua. (*)