Penyitas HIV/AIDS, Sarat Diskriminasi Masyarakat dan Minim Pelayanan Kesehatan

“Saat itu saya tau sendiri, tanpa ada dampingan dari keluarga dan dirujuk ke pelayanan”

benuanta.co.id, TARAKAN – Hari kesadaran terhadap Acquire Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) di seluruh dunia sekaligus merangkul para penyintas AIDS yang jatuh setiap 1 Desember. Tepat peringatan Hari AIDS tahun ini, di Kota Tarakan tercatat mengalami penambahan sebanyak 38 orang yang menjadi penyitas HIV/AIDS atau kerap disebut Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam sebulan ini.

Berbagai pengalaman getir dirasakan salah satu ODHA yang ada di Tarakan. Seperti Bandy, bukan nama sebenarnya, menceritakan kepada benuanta.co.id telah mengidap virus HIV yang diketahui dapat merusak sistem kekebalan tubuh sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 2016 silam. Saat itu Bandy masih berusia 19 tahun. Mengetahui penyakti langka ini seorang diri, sempat membuat mentalnya naik turun tanpa dampingan dari siapapun.

“Saat itu saya tau sendiri, tanpa ada dampingan dari keluarga dan dirujuk ke pelayanan. Kemudian dinyatakan positif (HIV) ya sudah, karena kan saya masih sekolah. Mental sih masih labil, cuma pada saat itu saya juga ikut keorganisasian yang mempelajari tentang hal itu, di situ ya sudahlah ini kesempatan kedua dari Tuhan,” terangnya kepada benuanta.co.id, Rabu (1/12/2021)

Kurang lebih lima tahun sudah dirinya tak pernah lepas dari obat khusus yang saban hari dikonsumsi. Tahun pertama usai dinyatakan terinfeksi HIV, diakuinya terasa berat menjalani hari dengan ketergantungan obat.

Baca Juga :  Libur Nataru, Keberangkatan di Bandara Juwata Meningkat 31 Persen

Pasalnya Bandy sempat dibuat berhalusinasi ketika sehabis meminum pil Anti-Retroviral (ARV) yang diketahui dapat secara dramatis memperlambat bertambah parahnya penyakit serta mencegah infeksi sekunder dan komplikasi. Namun kabar baiknya, seiring berjalannya waktu reaksi obat tersebut masih menunjukkan batas normal.

“Alhamdulillah saya sehat-sehat saja, halusinasi itu di awal-awal tahun 2016. Waktu itu ikat pinggang saya kira ular. Sepatu saya kira kelinci, jadi lebih ke mental saya aja begitu,” akunya.

Bandy juga pernah pindah pengobatan dari Tarakan ke Yogyakarta, lantaran melanjutkan pendidikan di daerah tersebut. Sepanjang menjadi penyitas, perlakuan tak mengenakan dia dapatkan dari pelayanan rumah sakit hingga masyarakat yang sempat memukul mentalnya.

“Dulu saya pernah ikut program, jadi tugas saya itu mengedukasi masyarakat. Sedangkan teman saya yang non AIDS pakai topeng, saya minta (masyarakat) untuk peluk teman saya yang ceritanya dia yang sakit tapi reaksi masyarakat malah tidak enak sekali. Ih jijik ih mas, nggak mau (peluk) kapan-kapan,” tiru Bandy.

“Ini sepengalaman saya saja, karena saya pernah ada di dua tempat ya. Dulu saya awal itu di Tarakan, kemudian pindah ke Jogja dan sebelum akhirnya kembali ke Tarakan, pelayanannya berbeda, dari segi konseptual, proses juga,” katanya.

Menurut Bandy, penanganan dan pelayanan ODHA seperti dirinya sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pelayanan yang Bandy maksud yakni mendapatkan program-program yang membuat dirinya dan teman ODHA lainnya berkumpul, melakukan diskusi sehingga membuat para ODHA maupun masyarakat luas lebih teredukasi.

Baca Juga :  Prostitusi di Bawah Umur Persoalan Serius

“Kalau di sini (Tarakan) masih sangat kurang sih, kayak kaget saja waktu di Jogjakarta ada kegiatan, FGD, ngumpul, sharing, Di sini monoton saja ambil obat, konsul dokter kemudian sudah kelar, tidak ada sharing bareng sama teman sebaya,” sambungnya.

Tak hanya itu, para ODHA juga tak mendapatkan poli khusus sehingga saat pengambilan obat masih satu ruangan dengan masyarakat non ODHA. “Karena pas awal saya di sini bukan di tempat khususya itu berbarengan di poli banyak juga orang non ODHA. Jadi kayak risih aja, terlebih lagi ada Nakes yang bilang kalau masih muda kok udah kena B 20,” bebernya.

Pada hari AIDS tahun ini, Bandy mewakili ODHA lainnya berharap ada peningkatan pelayanan dan program-program yang diberikan kepada penyitas HIV/AIDS. Hal ini bertujuan agar ODHA tak hanya melakukan aktifitas rutin seperti datang ke rumah sakit, menerima obat dan minum obat. Lebih dari itu, seperti edukasi ke masyarakat agar ODHA tak merasakan mental illness.

“Kondisi badan dan mental yang paling penting apalagi dij aman sekarang, lagi hype mental illness banyak teman-teman penyintas di situ saya pengen ngasih paham masyarakat kalau mental itu perlu,” tandasnya.

Baca Juga :  99 Personel Polres Tarakan Siaga Ops Lilin Kayan 2024

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tarakan, dr. Witoyo menjelaskan bahwa perayaan hari kesadaran AIDS pada tahun ini, pihaknya akan menambah Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP).

“PDP itu saat ini ada di RSUD sama Puskesmas Karang Rejo, hari ini baru ditambah RSUKT. Kalau keluhan itu pelayanan di rumah sakit, berarti rumah sakit umum provinsi itu (RSUD). Karena itu di luar wewenang dinas kesehatan kota,” jelasnya.

Mengenai program-program khsusus saat ini, kata Witoyo memang belum ada karena kegiatan saat ini terpusat pada Covid-19. “Kalau secara garis besar datanya tetap ada tapi secara nasional itu masih rendah, kalau dari angka nasional kita belum masuk daerah tinggi, cuma kita daerah transit tetap resikonya tinggi,” ujarnya.

Witoyo menjabarkan, setiap tahunnya memang selalu ada penambahan penyintas. Seperti halnya bulan ini sebanyak 38 orang bertambah. Adapun data penyintas AIDS sejak tahun 2006 di Tarakan sebanyak 985 orang.

Kendati begitu pihaknya terus berupaya memaksimalkan pelayanan sembari mengkondisikan dengan situasi yang ada. “Makanya kita nambah di RSUKT. Sebetulnya rencana dulu kalau bisa ODHA itu tidak usah jauh-jauh ke RSUD, pertama terbatas tempat, Nakes juga dan sekarang daerah Tarakan Utara diwakili RSUKT, di kota Puskesmas Karang Rejo,” tandasnya. (*)

Reporter : Endah Agustina

Editor : Yogi Wibawa

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *