KUTAI KARTANEGARA – Sebagai salah satu desa tertua di Kutai Kartanegara, Desa Mulawarman mulai melakukan transisi energi dengan memanfaatkan biogas kotoran ternak sejak tahun 2021.
Meskipun dihimpit oleh kawah-kawah tambang. Desa yang memiliki populasi 750 Kepala Keluarga (KK) ini memanfaatkan kotoran ternak menjadi energi terbarukan untuk disalurkan kepada 12 KK.
Muriati, warga RT 15, Dusun Karya Harapan, Desa Mulawarman, mengaku terbantu dengan adanya bauran energi ini. Sebab, sebelumnya para warga menggunakan Liquefied Petroleum Gas (LPG) untuk memasak kebutuhan sehari-hari.
“Tidak ada perbedaan. Api yang dihasilkan juga berwarna biru. Untuk kebutuhan sehari-hari aja cukup, tapi untuk memasak acara (hajatan) belum cukup,” ujar Muriati.
Sementara itu, Sekretaris Desa (Sekdes) Mulawarman, Bambang Irawan, menjelaskan Desa Mulawarman ini memiliki lebih dari 40 peternak sapi dan kambing.
Melalui kotoran ternak tersebut lalu dikumpulkan dengan cara mengalirkan kotoran cair dan padat pada bak penampung. Digester dan gas yang dihasilkan kemudian dialirkan ke kompor warga.
“Biogas ini merupakan biogas rumahan yang instalasinya dilakukan oleh Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Sehingga warga tidak perlu membayar iuran dalam penggunaan biogasnya,” jelas Bambang.
Di kesempatan yang sama, tim Jelajah Energi yang melakukan kunjungan ke Desa Mulawarman dari Institute for Essential Services Reform (IESR) juga mendukung pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas.
Menurut Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Marlistya Citraningrum, selain menyelesaikan masalah limbah, pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas merupakan praktik pemanfaatan energi terbarukan yang dapat dilakukan oleh masyarakat baik secara individu ataupun komunal.
Biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai pengganti elpiji atau sebagai sumber listrik, slurry yang dihasilkan sebagai pupuk dan bernilai jual.
Pemanfaatan energi terbarukan berbasis masyarakat ini bisa direplikasi di berbagai wilayah terutama yang menjadi sentra peternakan dan model pengelolaan atau pembiayaannya bisa bervariasi.
“Tidak hanya melalui program pemerintah melainkan juga secara kolektif atau swadaya, diupayakan oleh badan usaha milik desa atau koperasi, hingga melalui pembiayaan komersial,” tutupnya. (*)
Reporter/Editor: Yogi Wibawa