SEKILAS tidak ada yang berbeda dari bangunan Masjid Jami’ Nurul Islam dengan bangunan masjid lainnya. Bangunannya selayak masjid pada umumnya, desainnya pun tak semegah bangunan bangunan masjid di pusat kota.
Namun tidak ada yang akan menyangka bangunan sederhana di sudut Jalan Imam Bonjol, Markoni, Tarakan Tengah tersebut, adalah saksi berdirinya peradaban islam modern sekaligus saksi dari pendudukan kolonial di bumi Paguntaka.
Banyak pertanyaan tentang awal mula pendiriannya, siapa para tokoh pendirinya, bagaimana awal bangunannya difungsikan, namun sedikit mengetahui sejarahnya secara gamblang. Di samping minimnya pengurus Takmir (pengurus masjid) yang mempelajari sejarah, para tetua dari masjid tersebut telah banyak yang wafat.
“Untuk sejarah lengkapnya kita banyak tidak tahu, banyak orang tuanya sudah meninggal, termasuk kemarin H.M Sani Hasyim,” ungkap Wawan seorang takmir yang telah mengabdi di masjid tersebut sedari tahun 90-an.
Pada waktu yang sama, Sekretaris Pengurus Masjid Jami’ Nurul Islam Tono, berusaha mengingat cerita para tetua nasjid pendahulu tentang bagaimana proses awal pendirian Masjid yang diketahui telah berdiri dari pada awal abad 20 atau tahun 1900 tersebut.
“Jadi menurut sejarah orang tua dulu. Pertama masjid ada di Tarakan ya di Markoni ini. Pamusian ini banyak orang bilang kota tuanya Tarakan. Termasuk juga jadi wilayah eksploitasi minyaknya Belanda,” paparnya.
Tono kemudian melanjutkan, Markoni merupakan wilayah pusat kota yang dibangun belanda sebagai wilayah administratif dan permukiman, sehingga pihak pemerintah Hindia Belanda pada masa itu memusatkan pembangunan beberapa rumah ibadah pada wilayah Markoni.
Namun, masih belum jelas apakah pembangunan rumah ibadah tersebut dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda sendiri atau dibangun secara mandiri oleh masyarakat sekitar.
“Wilayah Markoni ini termasuk jadi pusat kotanya Hindia belanda, jadi dengan adanya pusat kota dan melihat banyaknya orang muslim di wilayah Pamusian ini dibangun lah Masjid ini sekitar tahun 1900, tapi kita masih tidak tau pendirinya itu siapa, pendahulu kita yang baru meninggal seperti H.M. Sani Hasyim bahkan juga tidak tau,” jelas Tono
Masjid Jami’ Nurul Islam sendiri dahulunya diketahui sebagai satu-satunya masjid yang digunakan masyarakat muslim Tarakan untuk melaksanakan ibadah sholat, jemaah dari berbagai macam penjuru Tarakan akan berkumpul untuk melaksanakan sholat di tempat ini.
“Jadi dulu masyarakat dari Selumit, Sebengkok semua itu sholat di masjid ini. Jadi bisa dibilang pusat ibadahnya orang islam Tarakan di daerah Markoni ini,” ungkap Tono.
Menjelang masa berakhirnya perang dunia kedua, Masjid Jami’ Nurul Islam sempat menjadi saksi bisu pergolakan peperangan yang dilakukan oleh pihak tentara Belanda, Sekutu, dan pihak Jepang. Masjid ini dijadikan tempat perlindungan masyarakat Tarakan saat pemboman terjadi.
“Jadi waktu perang diantara Jepang dan Belanda, karena masyarakat Tarakan tidak ada lagi tempat perlindungan, saat ada suara bom, masjid ini dijadikan tempat berlindung buat masyarakat. Lokasinya persis pada badan masjid sekarang ini,” ujar Tono.
Tono menerangkan, peninggalan lama sudah hampir tidak ada karena Masjid Jami’ Nurul Islam sendiri telah banyak mengalami renovasi besar, termasuk pada tahun 1980 dan 1990 terkait pembangunan menara masjid. Namun, bentuk fondasi dan posisi masjid tidak pernah berubah dari awal berdiri.
“Peninggalan lama hampir sudah tidak ada, karena bangunan sudah di renovasi selama beberapa kali. Tapi lokasi bangunan dan posisi fondasi pagar dan sebagainya ini dari awal berdiri hingga sekarang belum ada berubah sama sekali, termasuk tiang utama kayu ulin di dalam masjid,” imbuhnya.
Meskipun digadang sebagai masjid tertua di Tarakan dan menyimpan sejuta sejarah pergolakan masyarakat. Arsip sejarah Masjid Jami’ Nurul Islam masih banyak belum diketahui lengkapnya. Pergolakan sejarah akhirnya memuai begitu saja, namun kenangan Masjid ini tersimpan baik dalam lubuk ingatan orang yang mencintainya.
Pada bulan ramadhan kini Masjid Jami’ Nurul Islam, juga melaksanakan kegiatan ramadhan pada umumnya, seperti menyelenggarakan buka bersama, tausyiah malam dan subuh, serta tadarus Al-Quran.(*)
Reporter: Edo Asrianur
Editor: Ramli