benuanta.co.id, TARAKAN – Nelayan di wilayah Kalimantan Utara (Kaltara) masih didominasi dengan nelayan tradisional yang menggunakan kapal di bawah 30 GT. Meski begitu, Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) terus mengawasi nelayan-nelayan tradisional.
Kepala PSDKP Tarakan, Johanis Johnifurus Medea menyebutkan pengawasan dilakukan karena mayoritas nelayan yang menggunakan kapal di bawah 30 GT belum memiliki dokumen perizinan usaha yang belum lengkap.
Tak hanya dokumen, alat tangkap mereka juga dinilai tidak ramah lingkungan.
“Itu yang perlu kita dorong. Apalagi di Tarakan masih cukup banyak itu yang menggunakan kurau dan trawl,” sebutnya, Selasa (7/1/2023).
Ia menegaskan penggunaan kurau sendiri tidak boleh melewati penangkapan di atas 2 mil.
“Tapi kalau ada komitmen menjaga kelangsungan sumber daya kelautan dan perikanan saya kira seperti yang dicanangkan oleh masyarakat Bunyu. Itu luar biasa ada kawasan konservasi daerah mereka kan. Itu yang perlu didorong agar tidak ada penangkapan sampai 12 mil ini,” beber dia.
Ia mengatakan alat tangkap kurau sendiri merupakan jaring insang. Hal ini dibenarkan dan diakui oleh peraturan perundang-undangan yang penangkapannya tidak boleh melebihi jarak 2 mil ke bawah laut.
“Tantangannya ya itu dokumen usahanya juga belum lengkap. Itu yang harus kita dorong karena potensi kelautan di Kaltara sangat banyak,” kata Johanis.
Dalam pengawasan ini pihaknya juga selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan dinas terkait agar pelaksanaan pengawasan dapat berjalan dengan maksimal. Pun dengan sarana dan prasarana yang pihaknya miliki harus dapat mencakup wilayah kerja Kaltara, Kaltim dan Kalsel.
Apalagi saat ini hanya ada 75 personel. Jumlah ini dirasa kuat dalam melakukan patroli pengawasan di tiga provinsi yang ada di Kalimantan.
“Kita ada satuan pengawas juga di Sebatik. Di sana ada RIB atau speed cepat. Di Tarakan juga ada. Ada juga 1 unit kapal pengawas ini yang kita maksimalkan di perairan Kaltara,” pungkasnya. (*)
Reporter: Endah Agustina
Editor: Yogi Wibawa