benuanta.co.id, TARAKAN – Kunjungan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) 051 Tarakan untuk meninjau siswa penganut keyakinan Saksi Yehuwa, pihak sekolah memastikan kesiapan dan kooperatif dalam memberikan keterangan.
Informasi yang diperoleh benuanta.co.id, Komisioner KPAI Retno Listyarti telah tiba di Kota Tarakan pada Senin (22/11/2021) dan akan melangsungkan pertemuannya pada Selasa, 23 November 2021.
Kepala SDN 051 Tarakan, Fransiskus Xaverius Hasto Budi Santoso, M.Pd menerangkan kalau pihaknya tidak mengkhawatirkan kesiapan kunjungan KPAI, pasalnya sekitar 7 tenaga pendidik dikatakannya sangat mumpuni untuk memberikan keterangan yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Kita (Para guru) tentu mengedepankan komunikasi yang kooperatif. Para guru merupakan saksi hidup tentu mengingat apa yang telah terjadi, lalu kita akan menyampaikan kesaksian yang sebenarnya dan sepantasnya,” terang Hasto saat dijumpai pada Senin sore, 22 November 2021.
Hasto mengungkapkan, apabila yang diperlukan KPAI pun merujuk pada dokumen persidangan hukum, maka hak itu tidak menjadi kewenangannya.
“Kalau soal dokumen hukum, itu langsung ditangani oleh Bagian Hukum Pemkot Tarakan selaku kuasa hukum kami. Pihak sekolah tidak bisa mencampuri proses peradilan,” ucap pria yang lama bergelut sebagai akademisi itu.
Kepsek memastikan, dirinya akan memberikan keterangan yang sesungguhnya secara jelas dan tidak memihak. “Kami memastikan di sekolah tidak ada diskriminasi dan intoleransi. Berkaitan apakah KPAI mau percaya atau tidak, itu urusan mereka,” tambahnya.
Menurut Hasto, sebelumnya KPAI pun telah menerima berbagai keterangan dari pihak sekolah dan Pemkot Tarakan. Sehingga, agenda kunjungan KPAI di sekolah yang dipimpinnya itu hanya menindaklanjuti keterangan sebelumnya.
“Sebenarnya ibu Retno sudah pernah meminta keterangan dari pejabat dinas, kepala sekolah lama sewaktu proses hukum gugatan pertama dan kedua berjalan,” terang Hasto.
Hasto menambahkan, kondisi ketiga siswa tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam hal kognitif, psikologis dan interaksi.
“Interaksi atau langkah pembinaan pihak sekolah dengan orang tua anak juga berjalan baik, sehingga tidak ada masalah. Kita panggil orang tuanya ke sekolah juga hadir, lalu siswa juga ramah berkomunikasi dengan para guru,” kata Hasto.
Hasto menerangkan, penyebab ketidaknaikkan kelas selama 3 kali pada siswa tersebut, karena sekolah harus mempertahankan aturan-aturan yang berlaku sesuai dengan kurikulum, penilaian dan peraturan-peraturan menteri.
“Siswa tidak berkenan menyanyikan lagu Indonesia raya, tidak hormat bendera dan tidak mengikuti pelajaran agama secara keseluruhan. Dia (keluarga dan siswa) menyatakan diri sebagai agama Kristen tetapi tidak semua kegiatan pembelajaran berkenan dilakukannya, sehingga menurut pihak sekolah hal itu tidak sesuai dengan aturan yang berlaku,” ujarnya.
Berkaitan dengan kesempatan jenjang belajar yang terhambat, pihak sekolah berharap orang tua dapat mencabut gugatan perkaranya di ranah hukum mengingat kelanjutan pendidikan dari ketiga siswa itu. Pihak sekolah mengedepankan mediasi dan pencarian solusi secara bersama.
“Proses hukum itu sudah berlangsung sejak 2018 sampai sekarang. Saya baru menjabat kepala sekolah sejak bulan September 2021 kemarin, sehingga fokus saya ya pada kelanjutan pendidikan si anak. Untuk proses hukum, itu menjadi ranah Bagian Hukum Pemkot Tarakan dan kuasa hukum keluarga siswa,” beber Hasto.
Harapan pihak sekolah kepada pihak keluarga yakni menerima solusi yaitu melanjutkan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau melanjutkan jenjang dan prosedur di sekolah. “Tidak mungkin langsung melompat kelas, terkecuali akselerasi prestasi,” tutup Hasto. (*)
Reporter: Kristianto Triwibowo
Editor: Matthew Gregori Nusa