“Tidak hanya kekerasan seksual saja, bisa jadi anak yang dipaksa bekerja di bawah umur juga salah satu bentuk ekploitasi”
benuanta.co.id, TARAKAN – Kehidupan anak-anak yang beranjak remaja merupakan masa tumbuh kembang yang berharga. Di mana, pada masa itu, mereka bisa sepuasnya mengeksplor kemampuan diri untuk berbagai kegiatan seni, menggenjot prestasi akademis, dan asyik-asyiknya menggeluti hobi.
Namun, kebebasan itu tak dirasakan anak-anak usia 14-19 tahun yang dieksploitasi secara seksual. Seperti kasus eksploitasi anak di bawah umur yang baru-baru ini berhasil diungkap Polres Tarakan, Selasa 26 Oktober 2021 lalu. Mirisnya, kasus ini tak hanya melibatkan anak di bawah umur sebagai korban. Melainkan berperan sebagai mucikari yang menjual anak-anak di bawah umur kepada pria hidung belang.
“Sebelumnya kami mendapatkan informasi berkaitan dengan kasus tersebut. Lalu kita berhasil menangkap DN yang berperan menjual anak-anak di bawah umur kepada para pria hidung belang,” ujar Aldi, Jumat (29/10/2021).
Diketahui tersangka yang masih berusia 19 tahun ini disebut Polisi cukup terkenal di Tarakan. Khususnya para hidung belang yang menggunakan jasanya sebagai penyedia perempuan dewasa hingga anak di bawah umur untuk menemani berhubungan badan.
Layaknya mucikari yang bertahun-tahun mengeluti bisnis tersebut, sebagian besar pelaku mengincar anak di bawah umur yang memiliki keperluan uang, lalu mengambil kesempatan untuk menawarkan bisnisnya melalui kemajuan teknologi digital dan membagi keuntungan.
Menyikapi ini, Analis Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Tarakan, Siti Khadijah menerangkan, dalam kasus eksploitasi ini pihak DPPPA berkerjasama dalam penanganan satu klien yang ditangani oleh pihak berwajib atau instansi terkait.
“Dalam hal ini kasus telah masuk ke Polres sudah bisa selesai saja di situ dengan layanan proses hukum, kalau sudah cukup maka mereka (Polres) saja yang melayani. Tapi kalau perlu yang lain seperti pemulihan trauma, konseling, baru dapat menghubungi kami,” terang Siti Khadijah.
Khadijah melanjutkan, DPPPA memiliki layanan psikologis seperti pelayanan konseling. Dalam pengendalian dapat menciptakan pemulihan baik kepada korban untuk dapat kembali pada aktifitas normalnya. Misalnya korban mengalami trauma, namun seiring berjalannya waktu dapat pulih kembali.
“Bahayanya kalau tidak trauma, tapi sudah terbiasa. Itu kami ada terapi kehidupan agar nanti di kehidupan normal bisa diterima masyarakat umum,” lanjutnya.
Dia membeberkan, bentuk ekspolitasi mencangkup banyak hal. Dari berbagai macam kasus, bahkan bisa terjadi dari orang tua kepada anak. Misalnya orang tua mempekerjakan anak di bawah umur usia 18 tahun, seksual dan sebagainya. Sehingga dalam hal ini seksual merupakan salah satu jenis eksploitasi yang erat kaitannya dengan trafficking.
“Jadi bentuk ekspoitasinya sendiri juga banyak macamnya, tidak hanya kekerasan seksual saja. Bisa jadi anak yang dipaksa bekerja padahal masih di bawah umur itu juga salah satu bentuk ekploitasi,” tandasnya.
Kendati kasus eksploitasi anak sangat jarang ditemukan di Tarakan. Khadijah menilai jarangnya kasus ini bukan berarti ada keamanan pada perempuan dan anak, tetapi tidak adanya laporan yang pihaknya terima.
Seiring berjalannya waktu, tidak dapat disangkal dunia digital juga sudah merambah berbagai lini kehidupan manusia. Bahkan, di tengah arus digital yang semakin kencang, eksploitasi seksual juga terjadi. Termasuk di dalamnya eksploitasi seksual terhadap anak.
Mengutip dari laman resmi Pusat Penyuluhan Sosial Kementerian Sosial RI, pemanfaatan dan pelibatan anak dalam aktifitas seksual orang dewasa dengan iming-iming imbalan berupa uang tunai atau sejenisnya kepada anak atau pihak ketiga kerap terjadi di Indonesia. Berdasarkan data, sejak 2019 hingga Juni 2021 kemarin, setidaknya ada 286 kasus eksploitasi anak terjadi di Indonesia.
Hal lain yang menjadi perhatian bersama yakni eksploitasi seksual terhadap anak yang dilakukan secara online dinilai menjadi jurang awal anak terlibat dalam kasus tersebut. Antara lain, Grooming online atau bentuk bujuk rayu secara online yang ditujukan kepada anak-anak dan biasanya bisa mengarah kepada sexting dan sextortion.
Sexting atau sex chatting sendiri merupakan aktifitas chatting untuk membahas hal-hal seksual dan bisa berujung pada sextortion atau istilah lain dari pemerasan seksual akibat dari grooming online dan sexting. Biasanya pelaku sextortion akan meminta sejumlah uang kepada korban atau jika tidak mereka akan menyebarkan hal-hal pribadi milik korban.
Kemudian ada live streaming sexual content yang melibatkan anak dalam aktifitas seksual yang ditayangkan secara langsung dengan menggunakan teknologi kamera video seperti live streaming, video call, apps online meeting dan sebagainya. (*)
Reporter : Endah Agustina
Editor : Yogi Wibawa