Jakarta – Dokter spesialis jantung pembuluh darah RS Jantung Harapan Kita, BRM Ario Soeryo Kuncoro mengatakan gagal jantung merupakan kondisi kronis dan progresif jangka panjang yang cenderung memburuk secara bertahap yang disebabkan hipertensi.
Menurut dia, hipertensi menyebabkan pembuluh darah menyempit dan mengakibatkan beban kerja jantung bertambah berat. Penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah ini lalu akan menyebabkan dinding ruang pompa jantung menebal (left ventricular hypertrophy) dan dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko gagal jantung.
Sementara untuk memompa darah melawan tekanan yang lebih tinggi di pembuluh, jantung harus bekerja lebih keras sehingga terjadi penyempitan arteri sehingga darah lebih sulit mengalir dengan lancar ke seluruh tubuh.
“Dengan demikian, hipertensi membuat kerja jantung menjadi berlebihan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen dan nutrisi, namun kondisi jantung menjadi lebih sulit bekerja sehingga pada akhirnya jatuh ke kondisi gagal jantung,” kata dia dalam siaran pers, Kamis.
Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan darah diastolik di atas 90 mmHg.
Sebelum berkembang menjadi gagal jantung, penderita hipertensi bisa mengelola kondisinya agar tekanan darahnya sesuai target. Caranya, dengan mengatur pola hidup dengan membatasi konsumsi garam, perubahan pola makan, penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal, olahraga teratur, berhenti merokok, kepatuhan dalam menjalani pengobatan, pengukuran tekanan darah secara benar dan berkala.
Selain itu, sesuai dengan konsensus penatalaksanaan hipertensi, dokter akan merekomendasikan pemakaian obat pengendali darah tinggi secara kombinasi sejak awal pengobatan untuk mencapai tekanan darah sesuai target.
Terkait obat, Medical Affairs Divisi Pharmaceuticals Bayer Indonesia, Dr. Gunawan Purdianto, mengatakan, perusahaannya melalui teknologi Osmotic-controlled release oral delivery system (OROS) pada obat anti hipertensi kami, Nifedipine OROS, memungkinkan obat bertahan di dalam tubuh selama 24 jam dan menjaga tekanan darah tetap normal sepanjang hari.
Inovasi ini diklaim menghasilkan profil keamanan obat yang lebih baik, konsentrasi obat yang lebih stabil dan berkurangnya frekuensi pemberian dosis, memungkinkan penggunaan dosis awal yang efektif, serta pencapaian pengendalian gejala lebih awal sehingga akan meningkatkan kepatuhan pasien.
Di masa pandemi COVID-19, Ario merekomendasikan pasien hipertensi isolasi mandiri, meminum obat hipertensi (tidak boleh dihentikan), melakukan monitoring tekanan darah sendiri di rumah dengan Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) atau home blood pressure monitoring (HBPM), tidak perlu evaluasi klinik rutin namun bisa berkonsultasi dengan dokter via telepon atau melalui video bila diperlukan.
Kedua, bagi pasien hipertensi dengan COVID-19 positif rawat inap, maka dia harus tetap mengkonsumsi obat anti-hipertensi (tidak boleh dihentikan), tidak perlu mengganti jenis obat anti hipertensi.
Selain itu, mereka juga harus monitoring aritmia yang sering terjadi pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung, cek kadar kalium karena rendahnya kadar kalium dalam darah (hypokalemia) sering terjadi pada pasien COVID-19 yang dirawat.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan, prevalensi hipertensi di Indonesia pada penduduk usia di atas 18 tahun sebesar 34,1 persen.
Sementara estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebanyak 63.309.620 orang, dengan angka kematian akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian.
Berdasarkan kelompok usia, hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6 persen), umur 45-54 tahun (45,3 persen), umur 55-64 tahun (55,2 persen).(ant)