benuanta.co.id, TARAKAN – Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kalimatan Utara (Kaltara), meneluhan banyaknya aturan yang dinilai memberatkan biaya operasional. Mulai dari kewajiban pengurusan dokumen terminal bongkar muat (TUKS), pemasangan CCTV AIS, hingga lampu mercusuar dengan biaya cukup besar.
Ketua APINDO Kaltara, Peter Setiawan menyebut, Tarakan merupakan pulau kecil dan seluruh lalu lintas barang masuk melalui dermaga. Namun sektor usaha justru dibebani pengurusan TUKS yang biayanya mencapai miliaran rupiah dalam beberapa tahun.
“Jembatan masuk semua di sini pakai TUKS. Kalau dibikin semua, berapa biaya? Satu tahun itu bisa sampai 500 juta,” keluhnya, Kamis (31/10/2025).
Kata dia, pemerintah juga mewajibkan pemasangan CCTV AIS yang terhubung langsung ke pusat. Pengusaha harus menyediakan perangkat tersebut secara mandiri.
“Itu sekitar Rp 200 juta,” bebernya.
Selain itu, pelaku usaha tambak di Tarakan juga wajib memasang lampu mercusuar di dermaga perusahaan. Proses perizinan yang rumit ditambah biaya hingga Rp500 juta disebut membuat pelaku usaha menjerit.
“Kalau saya bisa tutup, saya tutup. Bebannya banyak,” ungkapnya.
Namun beban terberat disebut terjadi pada uji mutu ekspor yang kini harus dilakukan dua kali. Sebelumnya, perikanan, karantina, dan balai mutu berada di satu badan. Kini setelah dipisah, pengujian sampel harus dilakukan dua instansi dengan objek yang sama.
“Balai mutu ambil sampel. Karantina ambil sampel. Sama objeknya, biayanya double,” jelasnya.
Oleh karena itu, Peter mengaku telah melaporkan persoalan tersebut ke Ombudsman. Ia berharap aturan dapat dikaji ulang karena pelaku usaha terpaksa membayar dua kali untuk proses yang sama.
“Sudah saya laporkan dan lagi diperiksa. Karena ini undang-undang yang saling tumpang tindih. Saya nggak menyalahkan karantina, mereka jalankan undang-undang. Ini dua undang-undang yang berbeda, bingung kita mau ikut yang mana,” terangnya.
Ia menyampaikan, kondisi ini membuat banyak pengusaha mengurangi produksi dan hanya memproses komoditas kecil yang pasarnya lebih stabil. Udang kecil yang sudah dimasak kerap dikirim ke pasar Jepang dan Inggris sebagai bahan makanan olahan.
“Saya masak, kirim ke UK (United Kingdom) untuk salad. Kalau beli udang besar banyak, tiga orang rugi. Karena ada supplier nakal, air bisa sampai 3-5 persen. Jadi beli air,” katanya.
Sementara untuk bandeng, hanya segelintir pengusaha yang masih bertahan karena pasar Eropa memiliki persyaratan kualitas tinggi. “Bandeng ekspor cuma saya sama Haji Hadi. Yang lain susah,” tambahnya.
Penurunan paling besar disebut terjadi pada ekspor udang ke Amerika Serikat. “Paling besar itu 30 sampai 40 persen. Yang ke Amerika biasanya udang besar, tiger,” ujarnya.
Peter menjelaskan, pelaku usaha siap taat aturan, namun regulasi harus proporsional. Jika tidak, dampaknya dapat memicu penutupan usaha, PHK massal, hingga hancurnya sektor perikanan di Tarakan.
“Kalau tambah sulit, habis semua. Tutup. PHK. Pakannya nggak produksi. Ini rantai. Bahaya kalau Tarakan perikanan hancur,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah pusat maupun daerah tidak memperberat sistem perizinan. “Kalau regulasi tambah susah, siapa yang mau bertahan? Pengusaha itu mau jalan, tapi jangan dipersulit. OSS saja ribet,” pungkasnya. (*)
Reporter: Sunny Celine
Editor: Yogi Wibawa







