DBH Kaltara Turun Drastis, Pengamat Sarankan Pemprov Aktif Melobi ke Pusat

benuanta.co.id, TARAKAN – Penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) dinilai sebagai pukulan berat bagi keuangan daerah. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, Kaltara hanya menerima sekitar Rp3,2 miliar dari DBH tahun ini, padahal sebelumnya provinsi termuda di Pulau Kalimantan itu bisa memperoleh hingga Rp600 miliar. Kondisi ini dianggap sebagai bentuk efisiensi dan regulasi baru pemerintah pusat terhadap daerah, namun dampaknya akan sangat terasa terhadap pelaksanaan berbagai program pembangunan di tingkat provinsi.

Pengamat Ekonomi Kalimantan Utara, Dr. Syaiful Anwar, S.E., M.Si., menjelaskan penurunan drastis DBH tersebut akan berpengaruh langsung terhadap realisasi program pemerintah daerah yang telah direncanakan bersama DPRD. Ia menyebut, dengan sisa dana hanya sekitar Rp3,2 miliar, sebagian besar program prioritas kemungkinan besar tidak akan berjalan seperti yang diharapkan.

“Yang biasanya mendapatkan sekitar 600-an miliar, itu turun menjadi 3,2 miliar. Itu kan sangat terjun bebas,” ungkap Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Perwakilan Kalimantan Utara ini, Selasa (21/10/2025).

Menurutnya, DBH sendiri bersumber dari dua sektor utama, yaitu pajak dan sumber daya alam (SDA). Penerimaan dari sektor pajak meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), serta cukai tembakau. Sementara itu, DBH dari SDA berasal dari sektor kehutanan, pertambangan mineral dan batubara, minyak dan gas bumi, serta perikanan. Ia menilai Kaltara sebenarnya memiliki potensi besar di sektor perikanan, pertambangan, dan migas yang bisa dioptimalkan kembali.

Baca Juga :  Lebih dari Separuh Usaha Akomodasi di Kaltara Terapkan Sistem Ramah Lingkungan

“Kita kan lebih dominan di sektor perikanan, pertambangan, serta minyak dan gas bumi. Itulah sumber DBH kita,” jelasnya.

Lebih lanjut, Dr. Syaiful menilai penurunan DBH seharusnya menjadi dorongan bagi pemerintah daerah untuk memperkuat posisi tawar di hadapan pemerintah pusat. Ia mendorong agar Gubernur dan DPRD Kaltara melakukan negosiasi langsung ke kementerian terkait untuk memperjuangkan peningkatan DBH di tahun anggaran 2026. Upaya ini penting agar program yang sudah dirancang dalam Musrenbang, mulai dari tingkat desa hingga provinsi, dapat kembali berjalan normal.

“Mau tidak mau pemerintah bersama dewan harus bernegosiasi ke pusat supaya tahun 2026 bisa kembali lagi DBH kita ke angka semula, bahkan kalau bisa meningkat,” katanya.

Dr. Syaiful menilai peningkatan penerimaan daerah tidak bisa hanya bergantung pada kebijakan pusat. Ia menekankan pentingnya investasi dan inovasi daerah untuk menggali potensi sumber penerimaan baru, terutama dari pajak dan SDA. Selain memperjuangkan DBH, pemerintah daerah juga diminta memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pengembangan sektor produktif.

“Jadi harus ada investasi dan inovasi di daerah supaya kita mengalami peningkatan di tahun 2026,” ujarnya.

Ia mencontohkan beberapa proyek strategis yang bisa terdampak akibat penurunan DBH, seperti pembangunan infrastruktur penghubung antara Malinau dan Krayan, serta beberapa jembatan di wilayah pedalaman. Sebelumnya, Kaltara telah melobi pemerintah pusat dan sempat mendapatkan alokasi sebesar Rp150 miliar melalui forum gubernur. Namun, jika pemangkasan DBH terus berlanjut, proyek-proyek serupa berpotensi tertunda.

Baca Juga :  Soroti Rencana Kenaikan Upah, Apindo Kaltara: Kalau Terlalu Tinggi, Tenaga Kerja Tergantikan Mesin

“Beberapa program, seperti pembangunan infrastruktur dan jembatan, tentu akan terganggu karena dana yang dipotong itu sangat besar,” tuturnya.

Selain itu, ia juga menyinggung kemungkinan terpengaruhnya pembayaran tunjangan TPP pegawai akibat penurunan DBH. Dengan penerimaan yang sangat kecil, pemerintah daerah dikhawatirkan tidak akan mampu menyalurkan tunjangan secara penuh. “Kalau itu dapatnya kecil, kasihan dong pegawai, bisa saja dibayar tapi dipotong,” terangnya.

Sebagai solusi, Dr. Syaiful menyarankan agar pemerintah daerah memaksimalkan sektor-sektor unggulan seperti perkebunan sawit dan perikanan rumput laut. Menurutnya, kedua sektor tersebut selama ini masih dijual dalam bentuk bahan mentah tanpa nilai tambah. Ia mendorong adanya hilirisasi di tingkat provinsi agar nilai ekonominya meningkat dan berdampak langsung terhadap pendapatan daerah.

“Jangan hanya menanam sawit atau memproduksi rumput laut mentah, harus ada hilirisasi di daerah supaya nilai pajak dan serapan tenaga kerja meningkat,” tegasnya.

Dr. Syaiful juga menyoroti potensi ekonomi dari keberadaan Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Bulungan. Kawasan ini dinilai memiliki efek berganda (multiplier effect) yang besar terhadap ekonomi daerah jika pengelolaannya diarahkan untuk mendukung pajak lokal dan pemberdayaan masyarakat. Namun, ia mengingatkan agar dampak sosial dari proyek besar seperti ini tetap diperhatikan.

“Pembangunan di KIHI itu murni swasta, tapi harus ada efek berganda bagi masyarakat sekitar supaya mereka juga merasakan manfaatnya,” bebernya.

Dr. Syaiful juga mencontohkan adanya potensi pajak yang bisa digali dari keberadaan PT Phoenix Resources International (PRI) di Tarakan, seperti pajak tenaga kerja asing dan pajak ekspor. Ia menilai pajak dari perusahaan besar semacam ini dapat menjadi salah satu penopang keuangan daerah jika dikelola dengan baik. Namun, ia juga mengingatkan agar perusahaan tidak mengabaikan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat sekitar agar tidak menimbulkan konflik.

Baca Juga :  Lebih dari Separuh Usaha Akomodasi di Kaltara Terapkan Sistem Ramah Lingkungan

“Itu juga sumber-sumber pendapatan daerah, tapi sosialnya juga harus diperhatikan,” imbuhnya.

Lebih jauh, ia menilai pemangkasan DBH oleh pemerintah pusat juga berkaitan dengan program prioritas nasional Presiden Prabowo Subianto, seperti program makan bergizi gratis dan pembangunan sekolah rakyat. Ia menjelaskan bahwa pemerintah pusat membutuhkan anggaran besar untuk menjalankan program-program tersebut, sehingga melakukan efisiensi melalui pengurangan transfer ke daerah.

“Ini bukan karena daerah tidak mampu mengelola, tapi karena ada regulasi efisiensi anggaran untuk mendukung program nasional,” terangnya.

Ia menambahkan, seluruh kepala daerah di Indonesia mengalami dampak serupa, bahkan beberapa provinsi besar seperti Aceh juga mengeluh karena pemotongan signifikan. Oleh sebab itu, ia menilai yang paling penting bagi Kalimantan Utara saat ini adalah strategi melobi yang efektif dan kolaborasi antara eksekutif serta legislatif dalam memperjuangkan peningkatan DBH di masa mendatang.

“Dewan harus mensupport gubernur, bukan malah menghalang-halangi. Semua elemen masyarakat juga harus mendukung agar DBH bisa kembali normal,” pungkasnya. (*)

Reporter: Eko Saputra

Editor: Ramli

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *