benuanta.co.id, TARAKAN – Serikat pekerja di Kalimantan Utara (Kaltara) mendesak pemerintah dan perusahaan untuk meninjau kembali sistem kerja kontrak yang dinilai semakin masif diterapkan di berbagai perusahaan. Kondisi ini dianggap berpotensi melahirkan praktik perbudakan modern sekaligus menekan kesejahteraan pekerja di daerah.
Ketua Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Perkayuan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP Kahut KSPSI), Gusmin, mengatakan, keberadaan serikat pekerja seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman bagi perusahaan. Menurutnya, serikat justru berfungsi sebagai jembatan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial di tingkat perusahaan.
“Kalau masalah bisa diselesaikan di pabrik, tidak akan sampai keluar. Tapi banyak perusahaan masih alergi dengan serikat pekerja,” ujarnya dalam kegiatan silaturahmi bersama Kapolda Kalimantan Utara, Sabtu (18/10/2025).
Ia menilai, keengganan perusahaan untuk membuka ruang bagi serikat turut memperburuk keberanian pekerja memperjuangkan haknya. “Teman-teman banyak yang takut berserikat karena status mereka kontrak. Kalau kontrak tidak diperpanjang, siapa yang jamin dapurnya tetap ngebul?” ungkapnya.
Dirinya menilai, bila perusahaan mau membuka ruang komunikasi dengan pekerja, akan lahir hubungan industrial yang sehat. “Harapan kami, perusahaan mau membentuk serikat agar ada komunikasi bipartit antara pengusaha dan pekerja. Kalau bipartit gagal, baru tripartit, dan jika masih mentok bisa ke mediator. Tapi sekarang, anjuran hukum saja sering tak pasti,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga meminta dukungan aparat kepolisian terkait pembentukan Desk Ketenagakerjaan yang dianggap mampu memperkuat perlindungan terhadap hak-hak buruh. Selain itu, dirinya berharap pemerintah segera memberi kejelasan terkait pengupahan tahun 2026, sebab hingga kini belum ada kabar resmi dari pemerintah.
“Kami masih menunggu keputusan. Mudah-mudahan seperti arahan Presiden, bisa naik di atas enam persen. Kalau bisa sepuluh persen, tentu lebih baik,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPD Kahutindo Kaltara, Ahmad Rifai, turut menyoroti persoalan yang sama. Ia menyebut, sistem kontrak yang berlaku luas di Kalimantan Utara sudah sangat memprihatinkan.
“Hampir semua perusahaan mempekerjakan buruh kontrak. Padahal pekerjaan yang bersifat tetap tidak boleh diisi oleh pekerja kontrak. Ini yang menjadi konsen kami,” ujarnya.
Menurutnya, praktik kontrak masif ini bisa mengarah pada perbudakan modern. “Pekerja hanya dibutuhkan saat perusahaan mau, lalu diputus sesuka hati. Ini jelas tidak manusiawi,” tegasnya.
Ia menambahkan, lemahnya fungsi pengawasan membuat pelanggaran semacam itu terus berulang. “Ketika kami berharap pada Disnaker, sering kali alasannya keterbatasan personel dan anggaran. Karena itu kami merekomendasikan dibentuk Satgas Khusus Pengawasan Ketenagakerjaan yang melibatkan kepolisian,” ucapnya.
Ahmad Rifai juga menyoroti masalah pengupahan yang akan dibahas untuk tahun 2026. Ia meminta pemerintah daerah menghindari praktik rangkap jabatan di lembaga dewan pengupahan, baik di tingkat kota maupun provinsi.
“Kalau sampai itu terjadi lagi, produk pengupahan bisa cacat hukum dan digugat oleh pihak yang merasa dirugikan,” katanya. Ia juga mengkritik pelaksanaan LKS Tripartit Provinsi yang selama ini hanya dilakukan setahun sekali. Padahal, lembaga tersebut menjadi wadah strategis yang mempertemukan unsur pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha untuk membahas isu-isu ketenagakerjaan.
Hal senada disampaikan Ketua KSBSI Kaltara, Raden Yusuf, yang menilai sinergi antara serikat pekerja dan pemerintah harus diperkuat. Ia menyebut, di Kaltara terdapat tiga federasi besar di bawah KSBSI, yakni Federasi Pertambangan dan Energi, Federasi Kehutanan Industri Umum, Perkayuan Pertanian dan Perkebunan, serta Federasi Kebangkitan Buruh Indonesia.
“Kami memiliki tujuh dewan pengurus cabang dan 33 unit kerja, dengan total anggota sekitar delapan ribu orang di seluruh Kaltara,” ujarnya.
Raden menegaskan, KSBSI terus mendorong dialog sosial antara serikat, pemerintah, dan pengusaha sebagai jalan utama menyelesaikan konflik industrial. Ia juga mengingatkan pentingnya sosialisasi terkait bias ketenagakerjaan yang telah menjadi MoU antara Kepolisian dan Kementerian Tenaga Kerja pada Februari 2025.
“Selama ini belum ada sosialisasi dari pihak kepolisian terkait petunjuk teknisnya. Padahal hal ini penting agar pelaksanaan bias ketenagakerjaan bisa berjalan sesuai arahan pusat,” jelasnya.
Selain itu, ia menyoroti belum adanya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Kaltara, sehingga banyak kasus buruh yang terhenti di tahap mediasi. Ia berharap dengan kolaborasi kepolisian dan pemerintah daerah, keberadaan PHI dapat segera diwujudkan. “Kita ingin ke depan ada kepastian hukum bagi pekerja. Jangan sampai kasus berlarut hanya karena tidak ada lembaga peradilan khusus,” tegasnya.
Raden juga menekankan, serikat pekerja di Kaltara selalu menjunjung ketertiban dan keamanan dalam setiap kegiatan, termasuk saat menyampaikan aspirasi di jalan. “Walaupun ada kenaikan upah atau aksi damai, kami pastikan semua berjalan sesuai prosedur dan aman,” ujarnya.
Ia menutup dengan menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan buruh dan pengusaha. “Serikat pekerja ada karena perusahaan juga ada. Jadi hubungan ini harus dijaga agar investasi tetap tumbuh dan kesejahteraan pekerja meningkat,” pungkasnya. (*)
Reporter: Sunny Celine
Editor: Yogi Wibawa







