benuanta.co.id, TARAKAN – Investasi kini menjadi harapan baru bagi pertumbuhan ekonomi Kalimantan Utara (Kaltara), khususnya Kota Tarakan, di tengah ketersediaan sumber daya alam yang mulai menurun.
Akademisi sekaligus pakar ekonomi Universitas Borneo Tarakan (UBT), Dr. Margiyono, S.E., M.Si., menyebut investasi sebagai anugerah ekonomi baru yang mampu menggantikan peran sumber daya alam dalam menciptakan lapangan kerja dan menekan angka kemiskinan.
“Dulu anugerah ekonomi dipahami sebagai sumber daya alam, tapi karena kini sumber daya alam mulai menurun dan terdegradasi, maka investasi menjadi anugerah ekonomi bagi suatu daerah,” jelasnya, Selasa (21/10/2025).
Menurut Dr. Margiyono, investasi memiliki logika tersendiri yang berorientasi pada efisiensi dan keuntungan. Setiap investor akan mencari wilayah dengan biaya rendah dan potensi keuntungan tinggi.
“Logika investasi itu sederhana: biaya rendah, keuntungan tinggi. Jadi pemilik modal bebas memilih di mana akan menanamkan modalnya, tergantung pertimbangan ekonomis dan finansial,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pola investasi di Kaltara sejak dahulu berbasis pada eksploitasi sumber daya alam seperti kayu, minyak, gas, hingga batu bara. Namun, pola ini kini mulai bergeser ke sektor yang lebih berkelanjutan seperti perikanan dan pengolahan hasil laut.
“Industri seperti pengolahan udang atau perikanan budidaya itu lebih sustainable. Contohnya industri udang di Kalimantan Abadi atau PT Mustika yang masih terus berkembang,” katanya.
Meski begitu, Dr. Margiyono menilai investasi di Kaltara, khususnya di Tarakan, masih menghadapi tiga masalah mendasar: tingginya biaya tenaga kerja, pasar yang sempit, dan mahalnya harga lahan. Faktor pertama, menurutnya, menjadi penghambat utama pertumbuhan sektor formal.
“Biaya tenaga kerja kita terlalu tinggi. Upah di Kaltara lebih mahal dibandingkan daerah-daerah di Jawa yang industrinya tumbuh pesat,” ungkapnya.
Kondisi ini membuat investor cenderung berhitung ulang karena beban upah sulit ditekan. Di sisi lain, pasar lokal di Kaltara dinilai sangat terbatas. Dengan populasi sekitar 700 ribu jiwa, hanya sepertiga di antaranya yang berada di Tarakan, sementara sisanya tersebar di daerah dengan biaya logistik tinggi.
“Pasar kita sempit. Kalau industri hanya menjual di pasar domestik, pasti sulit bertahan karena biaya operasional tidak tertutup,” tegasnya.
Karena itu, ia menilai orientasi ekspor menjadi keharusan bagi industri di Kaltara agar dapat bertahan dan berkembang. Industri seperti PT PRI yang memproduksi bubur kertas dinilainya sebagai contoh ideal karena memiliki bahan baku lokal, mampu ekspor, dan minim pesaing.
“Industri seperti PT PRI itu unik karena tidak punya pesaing langsung dan bisa ekspor. Model seperti itu yang perlu diperbanyak,” katanya.
Selain dua masalah utama tersebut, Dr. Margiyono menyoroti harga lahan industri di daerah yang terlalu tinggi serta seringnya terjadi konflik kepemilikan di wilayah Tarakan Utara daerah yang direncanakan sebagai pusat pengembangan industri baru.
“Harga lahan dan konflik kepemilikan menjadi pertimbangan serius bagi investor. Pemerintah harus bisa menjamin ketersediaan lahan yang memadai, bebas konflik, dan berharga wajar,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menilai persoalan birokrasi dan perizinan saat ini bukan lagi hambatan utama, melainkan hal-hal struktural seperti tenaga kerja, pasar, dan lahan yang harus diselesaikan secara konkret. Menurutnya, jika tiga faktor ini bisa diatasi, maka daya saing investasi di Kaltara akan meningkat signifikan.
“Kalau upah bisa dirasionalisasi, pasar diperluas lewat orientasi ekspor, dan lahan dijamin ketersediaannya, investor pasti akan lebih tertarik datang ke Tarakan,” tuturnya.
Dr. Margiyono juga menekankan pentingnya pemanfaatan jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II), yang melintasi Laut Sulawesi dan Selat Makassar, sebagai jalur ekspor langsung dari Kaltara tanpa harus melalui pelabuhan besar di Jawa atau Sulawesi.
“Kalau ekspor bisa langsung lewat jalur ALKI II, tanpa harus ke Surabaya atau Jakarta, itu akan menjadi daya tarik besar bagi investor,” imbuhnya.
Ia menutup dengan optimisme dengan dukungan infrastruktur transportasi laut dan udara yang memadai, serta kepastian regulasi dan harga lahan, Kaltara masih berpotensi besar menjadi tujuan investasi utama di kawasan timur Indonesia.
“Saya yakin jika semua faktor itu dikelola dengan baik, Tarakan dan Kaltara akan tetap jadi pilihan utama bagi investor,” pungkasnya. (*)
Reporter: Eko Saputra
Editor: Endah Agustina







