benuanta.co.id, TARAKAN – Investasi dinilai sebagai salah satu anugerah ekonomi yang sangat penting untuk mendorong pembangunan, terutama di tengah keterbatasan dan penyusutan sumber daya alam yang terjadi saat ini. Jika dahulu anugerah ekonomi dimaknai sebagai sumber daya alam, kini investasi dipandang sebagai solusi strategis untuk menjawab tantangan penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan penurunan angka pengangguran.
Akademisi sekaligus pakar ekonomi Universitas Borneo Tarakan, Dr. Margiyono, S.E., M.Si., menegaskan investasi merupakan jawaban logis terhadap keterbatasan sumber daya alam. Ia menjelaskan, investasi selalu memiliki logikanya sendiri, yaitu berada pada dua posisi utama: biaya rendah dan keuntungan tinggi. Dalam pandangannya, pemilik modal akan selalu memilih lokasi penanaman modal berdasarkan pertimbangan logis, ekonomis, dan finansial untuk mendapatkan profit yang maksimal.
“Investasi adalah anugerah ekonomi bagi suatu daerah,” jelasnya, Rabu (15/10/2025).
Dr. Margiyono menjelaskan, pola investasi di Tarakan maupun Kalimantan Utara (Kaltara) pada awalnya berbasis pada eksploitasi sumber daya alam, mulai dari kayu, minyak, gas, hingga saat ini mengarah pada batu bara. “Itu menyebabkan sumber daya alam kita sekarang mulai berkurang,” katanya.
Namun, ia menilai masih ada industri yang berbasis sumber daya berkelanjutan seperti perikanan. Sebagai contoh, ia menyebut industri pengolahan udang seperti Kalimantan Abadi dan PT Mustika sebagai sektor berbasis sumber daya alam yang masih berkelanjutan. “Perikanan itu kan bisa dibudidayakan sehingga produksinya tetap hidup. Contohnya industri pengolahan udang itu kan adalah industri yang berbasis pada sumber daya alam yang masih sustainable,” ujarnya.
Sementara itu, industri kayu juga masih berjalan, tetapi mengalami keterbatasan pasokan. Ia mencontohkan PT Idec Abadi Wood yang sempat kekurangan bahan baku karena kenaikan harga kayu. “Syukur sekarang Alhamdulillah manajemennya sudah tertata rapi kembali. Bahan baku patokannya mulai stabil dan pasarnya juga sudah mulai stabil,” ungkapnya.
Menurut Dr. Margiyono, persoalan paling serius dalam investasi di Kaltara dan Tarakan saat ini adalah biaya tenaga kerja yang terlalu tinggi. Setiap akhir tahun, Dewan Pengupahan selalu melakukan penyesuaian upah yang tidak pernah bisa diturunkan karena kebutuhan pokok dan kebutuhan hidup layak terus meningkat. “Kenaikan harga kebutuhan pokok membuat basis penghitungan upah naik. Kalau harga naik, pekerja pasti akan menuntut upah tinggi,” tegasnya.
Ia menjelaskan, tingginya biaya tenaga kerja menjadi faktor fundamental yang memperlambat pertumbuhan sektor formal, sementara sektor informal tumbuh lebih cepat. “Sebutlah tadi PT PRI. Itu salah satu sektor formal yang tumbuh dari sekian sektor informal yang terus tumbuh lebih cepat,” lanjutnya.
Ia menambahkan, meskipun upah pekerja di Kaltara terasa tidak terlalu tinggi bagi masyarakat lokal, namun jika dibandingkan dengan Jawa, upah di daerah ini jauh lebih tinggi. Dr. Margiyono membandingkan dengan kawasan industri sepanjang jalan tol Trans Jawa seperti Gresik, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, hingga Madiun yang berkembang pesat karena biaya tenaga kerja lebih murah dan pasarnya lebih luas.
“Yang menyandera kita kita di Tarakan atau Kalimantan Utara itu adalah biaya tenaga kerja kita tinggi, pasar yang sempit,” terangnya.
Dr. Margiyono menyebut pasar sempit sebagai masalah fundamental kedua setelah biaya tenaga kerja, karena jumlah penduduk hanya sekitar 700.000 jiwa, dengan sepertiga di Tarakan dan sisanya tersebar di kabupaten kota lainnya. “Kalau kita mengirimkan barang ke daerah, biayanya sangat tinggi. Jadi perusahaan yang hanya memproduksi untuk pasar domestik pasti tidak akan hidup karena pangsa pasarnya sempit,” jelasnya.
Jebakan ketiga yang dihadapi dunia industri menurut Dr. Margiyono adalah posisi ekonomi yang cenderung berada pada kondisi full employment. Ia menjelaskan, setiap kali ada industri baru masuk, maka industri lama akan tutup. Ia menyebut kondisi ini sebagai tambal sulam.
“Investasi swalayan, misalnya. Begitu swalayan masuk di pinggir jalan dengan lampu terang dan udara dingin, warung-warung kecil milik emak-emak tergeser,” katanya.
Menurutnya m, satu-satunya cara jika ingin mendorong pertumbuhan industri atau investasi, yakni dengan memanfaatkan sektor yang sama sekali baru. Dr. Margiyono mencontohkan PT PRI yang bergerak di produksi bubur kertas. Industri ini unik karena tidak ada pesaingnya, dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus ekspor. “Bahan bakunya dekat, Akasia berhamparan dari Malinau sampai Sebuku,” paparnya.
Ia juga menyebut potensi besar dari industri minyak kelapa sawit, kakao, dan terutama rumput laut. “Industri rumput laut kita itu luar biasa besarnya, tetapi sama sekali ini menjadi persoalan seperti tidak ada solusi padahal sudah lama sekali,” katanya.
Menurut Dr. Margiyono, pemerintah daerah tidak perlu muluk-muluk. Katanya, sepanjang pemerintah kota maupun pemerintah provinsi fokus mengembangkan industri rumput laut, maka itu akan menjadi pusat pengembangan industri berbasis sumber daya alam yang berkelanjutan. Ia menambahkan, industri ini berpotensi menciptakan lapangan pekerjaan. “Hal ini terutama bagi nelayan, karena masyarakat hidup berdampingan dengan laut dan pantai,” imbuhnya.
Selain persoalan upah dan pasar, Dr. Margiyono juga menyoroti tingginya harga lahan untuk ganti rugi dalam pembangunan industri di Tarakan sebagai hambatan serius. “Itu juga menjadi pertimbangan yang serius bagi banyak pengusaha untuk membuat pabrik di Tarakan,” tambahnya.
Ia menjelaskan, meski Tarakan memiliki keunggulan transportasi udara, pelabuhan, energi listrik, dan SDM, tetapi harga lahan menjadi beban berat. Menurutnya, pemerintah kota sebenarnya telah mempersiapkan pengembangan industri di Tarakan Utara, dengan lahan luas yang sudah direncanakan. Namun, persoalan konflik kepemilikan lahan masih sering muncul.
“Itu persoalan yang bersifat temporer dan bisa diselesaikan,” ujarnya.
Ia menilai pemerintah harus menjamin ketersediaan lahan dengan harga yang layak dan tanpa konflik dengan masyarakat setempat. Dr. Margiyono berpendapat menyoal persoalan birokrasi, administrasi, dan perizinan saat ini sebenarnya tidak terlalu berat dibanding tiga persoalan utama: upah tinggi, pasar sempit, dan harga lahan tinggi. “Kalau itu bisa diselesaikan, daya saing investasi kita akan meningkat,” tegasnya.
Dr. Margiyono mengatakan jika harga bisa dikendalikan, upah dirasionalisasi, orientasi industri diarahkan ke ekspor, dan lahan industri tersedia dengan infrastruktur memadai, maka investor akan semakin tertarik berinvestasi di Tarakan. “Kalau itu bisa dilakukan semuanya, saya kira investor akan tetap memilih Tarakan atau Kalimantan Utara sebagai pilihan utama,” terangnya.
Konektivitas transportasi laut dan udara menjadi keunggulan tersendiri. Ia menyebut jalur ekspor melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II) di Laut Sulawesi dan Selat Makassar dapat dimanfaatkan agar ekspor tidak perlu melalui Surabaya, Jakarta, atau Sulawesi. “Kalau itu bisa terus ditegaskan atau dijamin oleh pemerintah, saya kira investor akan sangat tertarik untuk menanamkan modalnya di Tarakan bahkan di Kalimantan Utara,” tandasnya. (*)
Reporter: Eko Saputra
Editor: Ramli







