Kemendukbangga Respons Isu 34,6 Juta Pasangan di Indonesia Kohabitasi

Jakarta – Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN merespons data yang disampaikan oleh Kementerian Agama bahwa ada 34,6 juta pasangan di Indonesia yang memutuskan tinggal bersama tetapi tidak memiliki buku nikah atau kohabitasi.

Deputi Bidang Pengendalian Kependudukan Kemendukbangga/BKKBN Bonivasius Prasetya Ichtiarto menyampaikan pentingnya masyarakat melihat penyebab atau alasan pasangan memutuskan memilih kohabitasi.

“Terkait dengan fenomena ini, memang ada, lumayan banyak juga, memang datanya saya tidak pegang, namun secara umum alasan pertama yakni biasanya mereka sebenarnya sudah menikah, tetapi menikah secara agama dan tidak melaporkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga mereka tidak punya akte pernikahan,” katanya di Jakarta, Kamis.

Bonivasius juga mengatakan, anggapan masyarakat tentang kohabitasi atau yang lebih dikenal dengan kumpul kebo, juga perlu dimaknai ulang, dengan memperhatikan penyebab mengapa pasangan akhirnya memilih untuk melakukannya.

Baca Juga :  Ada Keringat dan Tawa di Balik Aksi Memukau TNI di Bastille Day

“Jadi secara agama mereka sah sebenarnya, itu artinya, fenomena tadi misal kumpul kebo itu mungkin bukan itu, jadi itu kalau kita bicara, yang penting sah kan, tetapi di sisi lain, juga ada kasus di mana mereka (pasangan) memutuskan kohabitasi karena berbagai permasalahan, misalnya pernikahan (resepsi) itu mahal, jadi yang penting ya sudah, sah atau jadi dulu saja, itu banyak terjadi,” ujar dia.

Ia juga mengemukakan salah satu pengalamannya pergi ke salah satu daerah di Indonesia yang membuktikan bahwa kohabitasi merupakan salah satu hal yang wajar, sehingga bupati memutuskan untuk mengadakan pernikahan massal untuk mengatasinya.

“Saya pernah keluar ke daerah, saya cek memang betul, kemudian ada kawin massal oleh bupati, karena mereka (pasangan) tidak punya uang dan mereka pikir kalau kawin itu ya memang harus mengundang banyak orang atau segala macam,” ucapnya.

Baca Juga :  Wapres: Penerima BSU yang Gunakan Dana untuk Judol Bisa Dilacak

Selain itu, Bonivasius juga menyoroti permasalahan mahalnya harga perumahan yang menjadi salah satu penyebab kohabitasi banyak ditemui di kota-kota besar. Hal ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi banyak di negara-negara maju seperti Jepang.

“Hidup di kota besar, kalau masing-masing kontrak sendiri-sendiri, kos sendiri, kan mahal, satu juta misalnya, kalau berdua kan tinggal Rp500 ribu. Sebenarnya kalau di luar negeri, itu biasa tinggal bersama, tetapi konteks tinggal bersama ini perlu dimaknai secara hati-hati ya, bukan tinggal bersama dalam konteks itu (kumpul kebo), tetapi bisa satu ruangan atau satu apartemen tinggal berdua, tetapi ya tinggal berdua saja tanpa melakukan apa-apa,” paparnya.

Baca Juga :  Istana Pilih Jakarta Untuk Rayakan 8 Dekade Kemerdekaan RI

Sebelumnya, Kementerian Agama menyelenggarakan Gerakan Gas Nikah atau Gerakan Sadar Pencatatan Nikah bersama tokoh publik Jafar Al Hadar (Habib Jafar).

Program ini mengedukasi masyarakat soal pentingnya pencatatan pernikahan mengingat ada puluhan juta pasangan di Indonesia yang mengaku menikah tetapi tidak memiliki buku nikah.

“Ada 34,6 juta pasangan di Indonesia yang mengaku menikah, tapi belum memiliki buku nikah. Ini rentan secara hukum dan berdampak pada hak perempuan dan anak,” kata Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag Abu Rokhmad.

 

Sumber : Antara

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *