Pemilu Nasional dan Daerah Terpisah, Prof Yahya: Bisa Picu Beban Anggaran dan Fragmentasi Politik

benuanta.co.id, TARAKAN – Rektor Universitas Borneo Tarakan (UBT) Prof. Yahya Ahmad Zein mengungkapkan sisi lain dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah bisa menimbulkan beban berat dalam aspek pendanaan dan potensi fragmentasi politik.

Adanya keputusan resmi dari MK yang memutuskan pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal mulai tahun 2029 nanti mengundang perhatian dari berbagai pihak termasuk Pengamat Hukum Tata Negara Kota Tarakan.

Baca Juga :  Eks Bendahara DPD PSI KTT "Ngamuk" Diganti Sepihak dari Kepengurusan

Pengamat Hukum Tata Negara di Kaltara ini menuturkan keputusan tersebut dapat memberikan dampak diperbaiki aspek salah satunya anggaran yang akan digelontorkan oleh pemerintah dalam pelaksanaannya.

“Penyelenggaraan dua pemilu besar dalam waktu berbeda tentu akan berdampak pada efisiensi anggaran. Biaya logistik, petugas KPPS, pengamanan, hingga kampanye harus digelar dua kali,” ujarnya, Selasa (1/7/2025).

Menurutnya, konsekuensi ini akan menambah beban APBN dan APBD, karena seluruh proses harus dilakukan terpisah. Ia juga menyinggung potensi instabilitas politik akibat pemisahan pemilu.

Baca Juga :  Eks Bendahara DPD PSI KTT "Ngamuk" Diganti Sepihak dari Kepengurusan

“Ini akan membuat dinamika politik lebih terfragmentasi. Bisa muncul perbedaan haluan antara pemerintah pusat dan daerah karena pemilu tidak lagi berlangsung bersamaan,” jelasnya.

Terkait masa transisi, ia memprediksi ada dua skenario yang bisa dilakukan mengenai perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan DPRD, atau penunjukan pejabat pelaksana tugas (Pj) oleh pemerintah pusat.

Baca Juga :  Eks Bendahara DPD PSI KTT "Ngamuk" Diganti Sepihak dari Kepengurusan

“Kalau diperpanjang, butuh dasar hukum yang jelas. Tapi kalau Pj terlalu lama, stabilitas daerah bisa terganggu. Ini harus diatur dalam undang-undang baru agar transisinya tidak chaos,” tegasnya.

Kendati demikian, Yahya menegaskan bahwa sebagai warga negara, putusan MK yang final dan mengikat harus dihormati. Tinggal bagaimana regulasi turunan mengakomodasi tantangan tersebut. (*)

Reporter: Sunny Celine

Editor: Ramli

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *