Dari Polemik ke Solusi, Nelayan Sebatik Kini Bebas Bangun Bagan

benuanta.co.id, NUNUKAN — Setelah bertahun-tahun terjebak dalam polemik panjang dan ketakutan akan jerat hukum, nelayan bagan di Pulau Sebatik akhirnya bisa bernapas lega.

Sebab, pemerintah dan tokoh adat memberikan kemudahan bagi mereka untuk kembali menebang kayu nibung bahan utama membangun pondok bagan yang selama ini dilarang keras karena rawan diselundupkan ke Malaysia.

Kabar baik ini disampaikan langsung oleh tokoh masyarakat Pulau Sebatik, H. Firman, yang juga anggota DPRD Nunukan. Ia menyebut, kini nelayan lokal sudah diizinkan mengambil nibung di, selama penggunaannya benar-benar untuk kebutuhan nelayan Indonesia.

“Kalau dulu sulit sekali ambil nibung karena ramai isu dijual ke Malaysia, sekarang dipermudah. Selama untuk dipakai nelayan kita, tidak masalah,” kata Firman, Rabu (1/7/2025).

Langkah pelonggaran ini tak lepas dari dukungan tokoh adat Tidung Nunukan, Sura’i, yang memberi restu atas pengambilan nibung untuk nelayan lokal. Hal ini menjadi angin segar setelah tahun 2022 lalu, aktivitas penebangan nibung sempat menyeret banyak pihak ke ranah hukum.

Baca Juga :  Beasiswa Nunukan Sasar Ribuan Pelajar

Kala itu, 10 orang diamankan prajurit Lanal Nunukan saat mencoba menarik keluar 480 batang kayu nibung dari hutan Sebaung. Kayu-kayu itu disebut hendak diselundupkan ke Malaysia disimpan di pinggir sungai perbatasan setelah diberi titik koordinat kepada pembeli dari negeri jiran.

Pohon nibung bukan hanya soal ekonomi. Ia adalah denyut nadi nelayan bagan di perairan Karang Unarang wilayah perbatasan laut RI–Malaysia. Di sinilah 200-an bagan berdiri, menjadi tempat hidup para nelayan, sekaligus pos pengamat alami bagi TNI AL dalam memantau kapal asing yang keluar masuk.

Baca Juga :  Lepas Sambut Komandan Kodim 0911/Nunukan, Letkol Inf Albert Fransteca Pamit Penuh Haru

Sayangnya, ketika nibung dilarang, banyak nelayan tak bisa memperbaiki bagannya. Akibatnya, produksi ikan khususnya teri ambalat anjlok. Harga teri yang biasanya Rp 105.000 per kilogram, sempat terjun bebas hingga Rp 73.500 pada awal 2022.

“Padahal eksistensi bagan ini punya fungsi pertahanan. Nelayan kita adalah mata dan telinga di laut perbatasan,” tegas Firman.

Sebelumnya, kayu nibung jadi rebutan karena harga jualnya di Malaysia sangat tinggi. Satu pasang sekitar 100 batang bisa dihargai RM 15.000 atau Rp 52,5 juta. Bandingkan dengan harga lokal yang hanya sekitar Rp 21 juta.

Modus lama yang digunakan penyelundup cukup licik. Mereka berpura-pura membawa kayu untuk nelayan lokal saat dicegat aparat, tapi begitu sampai di sungai perbatasan, mereka meninggalkan kayu sesuai pesanan pembeli Malaysia.

Baca Juga :  Penutupan Seleksi GSI SMP Tingkat Nunukan, UPTD Lumbis Raih Juara Utama

Firman menjelaskan bahwa pohon nibung sebenarnya tergolong Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan bukan kayu keras. Karena itu, pemungutannya tunduk pada UU Nomor 41 Tahun 1999, yang memungkinkan pengambilan dengan izin usaha resmi terutama jika ditujukan untuk kebutuhan masyarakat lokal.

“Nelayan kita sekarang dimudahkan. Bisa ambil nibung, bisa perbaiki bagan, harga teri sudah kembali stabil, dan batas negara tetap terjaga,” tutup Firman.

Kini, Pulau Sebatik tak hanya dikenal karena letaknya yang strategis, tapi juga karena berhasil menyeimbangkan kelestarian hutan, ekonomi nelayan, dan pertahanan negara. Sebuah pelajaran penting bahwa ketika adat, hukum, dan masyarakat berjalan seirama, konflik panjang bisa berubah menjadi solusi berkelanjutan. (*)

Reporter: Darmawan

Editor: Yogi Wibawa

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *