benuanta.co.id, TARAKAN – Program ‘sekolah rakyat’ yang digagas sebagai solusi penanggulangan kemiskinan mendapat sorotan kritis dari pakar ekonomi Kalimantan Utara.
Pakar ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan (UBT), Dr. Margiyono, S.E., M.Si., menilai kebijakan tersebut belum tentu efektif dalam menyelesaikan persoalan utama kemiskinan di wilayah perbatasan seperti Kalimantan Utara. Menurut Dr. Margiyono, kemiskinan di Kalimantan Utara memiliki karakteristik khusus yang berbeda dibandingkan daerah lain. Ia menyebut struktur ekonomi Kaltara didominasi investasi besar, khususnya di sektor pertambangan seperti batu bara, minyak, dan gas.
“Jika dikaitkan dengan upaya menurunkan atau mengentaskan kemiskinan, sekolah rakyat adalah kebijakan yang tidak jauh berbeda dengan kebijakan sebelumnya, tapi justru berimplikasi pada anggaran yang lebih besar. Aktivitas pertambangan itu padat modal dan membutuhkan tenaga kerja yang tidak seluruhnya bisa diserap oleh masyarakat lokal,” ungkapnya kepada benuanta.co.id, Sabtu (17/5/2025).
Ia juga menjelaskan, modal dan keuntungan dari investasi tersebut sebagian besar kembali ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Hal ini menciptakan fenomena yang disebutnya sebagai kebocoran wilayah.
“Dari sisi teori ekonomi, kalau modal berasal dari luar, maka pendapatannya juga akan kembali ke luar. Secara sosial, tenaga kerja dari luar juga tidak bisa dihindarkan karena investor akan menggunakan orang-orang kepercayaannya,” paparnya.
Dampaknya, masyarakat lokal yang tidak terserap ke sektor formal akhirnya bekerja di sektor informal. Dr. Margiyono mengutip data BPS yang menunjukkan 50,3% tenaga kerja di Kaltara adalah pekerja informal.
“Karakteristik pekerja informal itu hidupnya harian jadi misalkan hari ini kerja, besok bisa makan. Kalau hari ini tidak kerja, ya besok tidak tahu makan apa,” ucapnya.
Dr. Margiyono menilai pendekatan pendidikan memang rasional, tetapi bukan jawaban utama atas akar kemiskinan di Kaltara. Menurutnya, akses pendidikan bukanlah persoalan yang paling mendesak, karena pemerintah sudah cukup aktif menyediakan beasiswa melalui program seperti Kaltara Unggul.
Dr. Margiyono juga mengingatkan, pendekatan seperti sekolah rakyat bisa menciptakan efek psikologis yang kurang sehat jika dilakukan dengan cara mengelompokkan masyarakat miskin.
“Persoalan utama di sini adalah aksesibilitas terhadap lapangan kerja, baik di sektor publik maupun swasta. Kalau dikelompokkan jadi orang miskin semua, itu menimbulkan rasa diskriminasi. Mereka dianggap sama-sama bernasib buruk, dan itu bisa membuat kondisi sosial menjadi tidak sehat,” katanya.
Sebagai alternatif, ia menyarankan agar pemerintah melakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap anak-anak yang benar-benar tidak memiliki akses pendidikan karena alasan ekonomi ekstrem.
“Libatkan RT, lurah, dan kepala desa. Lakukan pendataan yang serius, identifikasi anak-anak yang tidak punya akses pendidikan. Lalu sediakan fasilitas pendidikan dan kehidupan yang layak, seperti asrama,” sarannya.
Lebih jauh, ia mendorong agar pendekatan sekolah rakyat tidak bersifat parsial hanya kepada anak-anak, melainkan juga menyentuh orang tua mereka. Solusi simultan, menurutnya, akan jauh lebih efektif dalam menurunkan angka kemiskinan secara signifikan.
“Berikan pelatihan kerja atau wirausaha kepada para orang tua. Buka akses mereka ke lapangan kerja publik maupun swasta. Anak-anak butuh makan, orang tua mereka juga butuh makan,” tegasnya.
Ia juga mengusulkan adanya kuota tenaga kerja lokal dalam setiap penerimaan ASN maupun tenaga kerja swasta agar masyarakat perbatasan tidak hanya menjadi penonton. Maka dari itu, perlu afirmasi khusus dalam bentuk kuota atau mekanisme seleksi yang memperhatikan keterbatasan daerah.
“Kalau mekanismenya pure competition, ya kita kalah bersaing. Faktanya memang seperti itu,” ungkapnya.
Terakhir, Dr. Margiyono menekankan pentingnya keberpihakan terhadap masyarakat miskin yang punya kemauan untuk maju. Dengan pendekatan multidimensi dan data yang akurat, Dr. Margiyono percaya kebijakan seperti sekolah rakyat dapat diarahkan menjadi lebih tepat sasaran dan berdampak nyata.
“Miskin yang punya etos kerja dan semangat bangkit harus diberikan bantuan lebih. Tapi kalau miskin karena malas, ya jangan terlalu besar bantuannya. Itu masalah perilaku,” pungkasnya. (*)
Reporter: Eko Saputra
Editor: Endah Agustina