benuanta.co.id, TARAKAN – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tarakan, K.H. Abdul Samad, L.C., menyatakan tindakan vasektomi dan tubektomi secara umum hukumnya haram dalam Islam.
“Namun, terdapat pengecualian jika dilakukan dalam keadaan darurat atau alasan medis yang sah menurut syariat,” jelasnya kepada benuanta.co.id, Ahad (4/5/2025).
K.H. Abdul Samad menjelaskan sterilisasi permanen, baik pada pria (vasektomi) maupun wanita (tubektomi), bertentangan dengan prinsip dasar syariat tentang keturunan.
“Secara umum vasektomi dan tubektomi hukumnya haram, kecuali kalau ada alasan khusus yang syar’i, maka bisa makruh atau mubah,” tegasnya.
Fatwa MUI tahun 1979 menjadi rujukan utama dalam menetapkan hukum tindakan tersebut. Fatwa ini dikeluarkan dalam konteks program Keluarga Berencana (KB) yang pada masa itu gencar dilakukan oleh pemerintah, termasuk metode kontrasepsi permanen.
“Penjelasan lengkap sudah tertuang pada Fatwa MUI tahun 1979,” tambahnya.
Dalam fatwa tersebut dijelaskan tindakan sterilisasi permanen hukumnya haram, karena dianggap menutup kemungkinan memiliki keturunan secara mutlak. Ini dinilai bertentangan dengan salah satu tujuan utama syariat Islam yaitu hifzh al-nasl atau menjaga keturunan.
“Segala tindakan yang menghalangi kelahiran secara permanen tanpa alasan syar’i, tidak sesuai dengan maqashid syariah,” ujarnya.
K.H. Abdul Samad menambahkan, MUI memberikan kelonggaran hukum jika tindakan sterilisasi dilakukan karena keadaan darurat. Misalnya, jika seorang ibu berisiko kehilangan nyawa akibat kehamilan dan tidak ada alternatif kontrasepsi lain yang efektif.
“Kalau ada kondisi medis yang darurat dan mengancam keselamatan jiwa, maka hukum vasektomi atau tubektomi bisa menjadi mubah,” jelasnya.
Landasan hukum lain yang digunakan adalah kaidah fiqih klasik: “Ad-darurat tubih al-mahdhurat” atau keadaan darurat membolehkan yang terlarang. Kaidah ini menjadi rujukan kuat dalam menentukan status hukum tindakan medis yang di luar kebiasaan hukum asalnya.
“Dalam Islam, darurat itu bisa mengubah hukum asal sesuatu dari haram menjadi boleh,” katanya.
Ayat Al-Qur’an dan hadis juga memperkuat pandangan MUI. Surah Al-An’am ayat 151 melarang pembinasaan keturunan karena alasan duniawi. Sementara hadis Nabi SAW menganjurkan umat Islam untuk menikah dengan pasangan yang subur, agar memperbanyak umat Islam.
“Kedua dalil itu menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi keturunan,” imbuhnya.
Di sisi lain, MUI menyatakan bolehnya menggunakan metode kontrasepsi yang tidak bersifat permanen, seperti pil KB, IUD, atau kondom, selama tidak menimbulkan mudarat dan atas persetujuan kedua belah pihak.
“Selama masih ada kemungkinan untuk punya anak lagi, metode kontrasepsi itu dibolehkan,” ungkapnya.
Dengan demikian, masyarakat diimbau untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan dan selalu mengonsultasikan pilihan tersebut dengan pihak medis maupun tokoh agama.
“Jangan hanya karena alasan ekonomi atau kenyamanan, lalu mengorbankan prinsip syariat,” tuntasnya. (*)
Reporter: Eko Saputra
Editor: Ramli