benuanta.co.id, TARAKAN – Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day tahun ini, tampak jauh dari gegap gempita aksi-aksi massa seperti tahun-tahun sebelumnya. Fenomena ini bukan semata soal menurunnya semangat buruh, tetapi juga mencerminkan adanya kesadaran baru dalam hubungan industrial yang lebih kompleks dan realistis.
Pakar Ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan (UBT), Dr. Margiyono, S.E., M.Si., mengungkapkan fenomena kurang masif atau kurang semangatnya para buruh dalam memperingati May Day tahun ini tidak bisa dilepaskan dari relasi antara buruh dan pengusaha yang saat ini jauh lebih rasional.
Dr. Margiyono menjelaskan, para pekerja mulai menyadari tuntutan yang terlalu tinggi justru dapat berbalik merugikan mereka sendiri. Menurutnya, saat ini banyak pengusaha sebenarnya telah berusaha memenuhi berbagai tuntutan buruh, meskipun belum maksimal. Namun, di saat yang sama, mereka juga dihadapkan pada berbagai persoalan ekonomi yang makin kompleks.
“Faktanya, pengusaha juga menghadapi kesulitan dalam hal bahan baku, bahan bakar, kebijakan pemerintah, kondisi makro ekonomi, dan persaingan pasar. Jadi bukan hanya buruh yang susah,” jelasnya kepada benuanta.co.id, Kamis (1/5/2025).
Lebih jauh, Dr. Margiyono menyebut tenaga kerja hanyalah satu dari sekian input dalam proses produksi. Banyak perusahaan, seperti industri kayu di Kalimantan, bahkan mengalami kesulitan memperoleh bahan baku.
“Kalau bahan baku sulit didapat dan buruh tetap menuntut kenaikan upah, maka pengusaha akan kehilangan kemampuan untuk memenuhi dua sisi ini sekaligus,” ujarnya.
Dalam situasi seperti itu, pengusaha dihadapkan pada pilihan sulit. Antara apakah harus mengurangi tenaga kerja atau menurunkan kapasitas produksi. Keduanya berdampak negatif bagi buruh.
“Kalau pengusaha dipaksa terus tanpa kompromi, maka ujung-ujungnya justru akan ada pengurangan tenaga kerja,” jelasnya.
Kondisi ini diperparah oleh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, yang menyebabkan harga input impor seperti bahan baku dan bahan bakar meningkat. Dr. Margiyono menyoroti beban subsidi pemerintah pun makin berat.
“Meski subsidi BBM seperti solar dan pertalite masih dirasakan masyarakat, tapi pada akhirnya pemerintah juga akan kewalahan menanggungnya sehingga akan membengkak,” ujarnya.
Persaingan di pasar pun menjadi tekanan tambahan bagi pengusaha. Persaingan tak hanya terjadi antar perusahaan di satu daerah, tapi juga lintas daerah dan bahkan antarnegara.
“Perusahaan seperti Idec dan Intraca misalnya, bersaing ketat di pasar yang sama. Jika mereka tidak bisa menekan biaya produksi, maka akan kalah bersaing,” katanya.
Situasi makin pelik karena persaingan juga terjadi di kalangan pekerja sendiri. Menurutnya, banyak pengusaha akhirnya memilih merasionalisasi tenaga kerja dengan mengurangi pegawai lama yang memiliki banyak tuntutan, dan merekrut pegawai baru yang upahnya lebih rendah tapi loyal.
“Karena pengangguran banyak, pengusaha punya pilihan untuk mengganti tenaga kerja dengan yang lebih murah,” ungkapnya.
Relokasi usaha ke daerah dengan tingkat upah lebih rendah juga menjadi strategi umum pengusaha. Misalnya, dari daerah padat industri seperti Surabaya, Pasuruan, dan Sidoarjo, ke daerah hinterland seperti Mojokerto, Jombang, atau Madiun.
“Upah di daerah tersebut lebih rendah, sehingga lebih menguntungkan bagi pengusaha untuk pindah,” ujarnya.
Namun tantangan yang cukup besar bagi pekerja saat ini adalah kehadiran teknologi dan kecerdasan buatan (AI) yang perlahan menggantikan peran tenaga kerja manusia.
“Tenaga kerja manusia bisa marah, dendam, dan menuntut. Mesin tidak. Dia bekerja sesuai program dengan produktivitas tinggi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dr. Margiyono juga menjelaskan tentang gelombang PHK yang terjadi sejak pertengahan 2024 hingga kini yang menjadi bukti banyak pengusaha telah berada di titik maksimal untuk mempertahankan operasional bisnis mereka.
“Kalau sudah mentok, mereka bisa tutup atau relokasi. Dan itu berujung pada PHK terus-menerus,” katanya.
Di tengah situasi itu, menurut Dr. Margiyono, para buruh mulai berpikir lebih rasional. Mereka menyadari persaingan tidak hanya terjadi antara pengusaha dan pengusaha, tapi juga antara pekerja lama dan baru, serta antara manusia dan teknologi.
“Kalau tidak bisa mengambil hati majikan, bukan tidak mungkin tenaga kerja akan diganti mesin,” imbuhnya.
Karena itu, ia mendorong agar asosiasi pekerja menjaga produktivitas dan bersikap lebih profesional. Kritik tetap penting, namun harus objektif dan memperhatikan realitas yang ada.
“Kesulitan itu dirasakan semua pihak. Tidak hanya buruh, tapi juga pengusaha,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif. Stabilitas sosial, politik, dan ekonomi akan menentukan apakah sebuah daerah layak untuk dijadikan tempat investasi.
“Investasi itu seperti berlian, setetes air atau Oase di tengah padang gurun. Begitu berharga, ia hanya akan singgah di daerah yang aman, produktif, dan rendah konflik,” jelasnya.
Menurutnya, bukan hanya buruh dan pengusaha yang harus berbenah, tetapi juga pemimpin daerah, tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyakat (LSM), dan semua elemen.
“Kita semua bertanggung jawab menciptakan iklim usaha yang sehat dan menarik bagi investor. Dengan itu akan menciptakan lapangan pekerjaan, peningkatan PAD serta ekonomi daerah hingga nasional juga akan semakin baik,” pungkasnya. (*)
Reporter: Eko Saputra
Editor: Yogi Wibawa