benuanta.co.id, NUNUKAN – Di tengah-tengah lebatnya hutan Kalimantan Utara, tepatnya di wilayah Sembakung, masih lestari sebuah tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh para leluhur, pembuatan “kedabang” atau saung. Penutup kepala khas yang setia menemani petani dan nelayan menantang terik matahari dan hujan.
Warga Sembakung, Hajar, menjelaskan awal mula perjalanan kedabang dimulai dari pandan belibi—sejenis pandan hutan yang tumbuh liar dan berduri tajam. Untuk mendapatkannya, warga harus masuk ke dalam hutan, memilih daun yang cukup tua dan lebar. Namun tak bisa langsung digunakan, karena durinya tajam. Maka proses pertama adalah membuang daun, membersihkan duri-durinya satu per satu.
Setelah bersih, daun pandan belibi tak langsung dijahit. Ia harus “dijinakkan” dulu. Maka dimulailah proses pemanggangan di atas api. Daun disapukan pada bara panas hingga layu dan lentur. Setelah cukup hanya layu, daun digulung perlahan menjadi beberapa gulungan lalu diikat agar tetap pada bentuknya.
“Gulungan daun ini kemudian dijemur di bawah sinar matahari hingga benar-benar kering. Setelah kering, barulah daun dipotong sesuai ukuran yang dibutuhkan.” Kata Hajar, kepada benuanta.co.id, Ahad (27/4/2025).
Kedabang bukan hanya soal daun. Rotan juga penting. Rotan dibentuk menjadi lingkaran, bundaran dasar yang menentukan besar kecilnya saung. Setelah itu, potongan daun pandan mulai dibentuk, dilapisi dan dijahit menyatu dengan rotan, membentuk struktur penutup kepala yang kokoh namun ringan.
Dan akhirnya, jadilah kedabang atau saung pelindung dari panas dan hujan, hasil karya tangan-tangan terampil masyarakat Sembakung. Kedabang juga simbol ketekunan dan keterikatan dengan alam.
“Di pasar lokal, satu kedabang biasanya dijual sekitar Rp60.000, namun nilainya jauh lebih besar sebagai warisan budaya yang hidup,” jelasnya.
Di Kalimantan Utara, kedabang masih banyak ditemui di desa-desa, karena masyarakat desa masih melestarikan tradisi penggunaan kedabang ini untuk aktivitas sehari-hari. (*)
Reporter: Darmawan
Editor: Ramli