benuanta.co.id, TARAKAN – Merebaknya isu BBM oplosan yang merugikan konsumen, mendorong munculnya desakan masyarakat agar tersedia alternatif selain SPBU Pertamina.
Pakar ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan (UBT), Dr. Margiyono, S.E., M.Si., kehadiran shelter atau SPBU alternatif tidak semudah yang dibayangkan dan menghadapi tantangan keekonomian yang signifikan. Dr. Margiyono mengungkapkan, praktik pengoplosan BBM sebenarnya sudah lama dicurigainya secara pribadi, meskipun tidak disampaikan secara terbuka.
“Saya sendiri mengalami, cuma saya diam karena takut terjadi masalah, dianggap fitnah. Saya hanya sampaikan kepada istri dan teman-teman bahwa saya curiga terjadi pengurangan atau pengoplosan di SPBU tertentu,” ujar Margiono, Kamis (17/4/2025).
Ia menilai tindakan curang tersebut bisa terjadi, karena pelaku ingin mempertahankan margin keuntungan di tengah tingginya biaya operasional. “Pelaku itu mencoba mempertahankan benefitnya dengan cara yang merugikan konsumen, baik itu melakukan pengoplosan atau mengurangi takaran,” jelasnya.
Dalam rantai distribusi BBM, lanjutnya, beban biaya dari tingkat atas akan turun hingga ke level pengecer, dan akhirnya konsumenlah yang menjadi korban.
“Dampaknya adalah praktik yang tidak fair dan konsumen menjadi korban karena biaya dibebankan ke mereka,” tegasnya.
Dr. Margiyono juga mengapresiasi upaya beberapa Pertamina dari luar daerah, yang telah menerapkan sistem pembelian BBM melalui barcode dan mewajibkan pengisian langsung ke tangki kendaraan. Namun ia menilai berbagai aturan itu belum sepenuhnya efektif.
“Beberapa instrumen sudah dilakukan untuk mengantisipasi penyalahgunaan BBM, tapi faktanya aturan-aturan itu justru dianggap sebagai kendala oleh sebagian pelaku,” ujarnya.
Ia menilai salah satu akar persoalan ada pada posisi monopoli dalam distribusi BBM. Menurutnya, kehadiran kompetitor bisa menjadi solusi sistemik terhadap praktik kecurangan.
“Kalau ada perusahaan lain yang masuk, maka potensi tindakan merugikan konsumen bisa diminimalisir karena persaingan mendorong efisiensi dan kualitas layanan,” katanya.
Terkait potensi shelter atau SPBU alternatif di Kaltara, ia menilai secara umum permintaan konsumen sebenarnya sudah terlayani, walau tidak merata di semua wilayah.
“Faktanya semua orang tidak mengisi BBM setiap saat. Hanya pada jam-jam tertentu yang ramai, misalnya di SPBU Mulawarman atau Ladang,” tuturnya.
Namun ia menekankan secara teoritis, kehadiran pesaing baru tetap membawa nilai positif bagi konsumen. Hanya saja, secara keekonomian, usaha baru tersebut akan menghadapi banyak tantangan.
“Kalau masuk perusahaan lain, itu bagus untuk mendorong persaingan, menjaga kualitas produk dan layanan,” katanya.
Menurutnya, shelter alternatif akan berhadapan dengan ketatnya persaingan dari SPBU Pertamina yang sudah mapan, termasuk jaringan pom mini dan kios Pertamax.
“Kalau shelter baru buka di Tarakan atau daerah lain di Kaltara, dia akan menghadapi biaya operasional tinggi dan pasar yang sempit. Ini membuat tingkat keekonomiannya tidak memadai,” tuturnya.
Lebih lanjut, Dr. Margiyono mengungkapkan, keberhasilan shelter alternatif bergantung pada skala ekonomi dan kapasitas daya beli masyarakat.
“Walaupun kendaraan banyak, tapi pembelian hanya di jam tertentu. Ini menunjukkan kapasitas beli masyarakat terbatas,” katanya.
Meski shelter alternatif dapat menjadi opsi strategis untuk menekan praktik curang dan mendorong efisiensi, tantangan investasi, biaya operasional, dan potensi pasar yang terbatas membuat minat masuk pelaku usaha baru menjadi kecil.
“Saya kira kalau shelter selain Pertamina dibuka itu bagus, tapi apakah perusahaan lain tertarik masuk dengan kondisi ekonomi yang sempit seperti ini,” tuntasnya. (*)
Reporter: Eko Saputra
Editor: Yogi Wibawa