Datuk Tiras: Jejak Kepemimpinan Sultan Bulungan yang Layak jadi Pahlawan Nasional

“Pulau Jawa dan Sumatera saja sudah merdeka. Rakyat kami (Bulungan) juga ingin seperti itu. Kami berdiri 100 persen di belakang Republik Indonesia.” Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin

Oleh: Eko Saputra

DI balik derasnya arus modernisasi dan pembangunan di Kalimantan Utara, tersimpan jejak sejarah yang tak kalah kuat dari gelombang zaman. Sosok Datuk Tiras, atau lebih dikenal dengan nama lengkapnya Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, merupakan salah satu tokoh sentral dalam sejarah Kesultanan Bulungan. Kepemimpinannya yang panjang, kiprahnya dalam mendukung kemerdekaan Republik Indonesia, serta pengakuan internasional atas eksistensi Kesultanan Bulungan menjadikan namanya kini diusulkan sebagai pahlawan nasional dari Kalimantan Utara.

Sultan yang Memimpin di Tengah Transisi Zaman

Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin dinobatkan sebagai Sultan Bulungan ke-11 pada tahun 1931, menggantikan ayahandanya di tengah kondisi kolonialisme yang masih mencengkeram Nusantara. Masa pemerintahannya berlangsung hingga wafatnya pada tahun 1958. Sosok yang akrab disapa Datuk Tiras ini dikenal tidak hanya sebagai pemimpin kerajaan, tetapi juga sebagai tokoh yang mempersatukan berbagai etnis di Bulungan dari Tidung, Dayak, Jawa, Arab hingga Tionghoa dalam harmoni.

“Beliau dikenal sangat bijaksana, semua suku dirangkul. Tidak ada gesekan sosial selama beliau memimpin,” ujar Drs. H. Datuk Dissan Hasanuddin, Raja Muda Kesultanan Bulungan ke-13, dalam wawancara eksklusif benuanta.co.id, Rabu (9/4/2025).

Selain menjadi sultan, Datuk Tiras juga dikenal sebagai seorang pekerja keras. Ia pernah bertindak sebagai mandor kebun karet milik pribadinya sebelum naik takhta. Masa kepemimpinannya menyentuh dua era, yakni zaman kolonial Belanda dan awal kemerdekaan Indonesia.

Kesetiaan kepada Republik dan Diplomasi di Tengah Gejolak

Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa dan Sumatera belum sepenuhnya merdeka. Namun Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin menunjukkan komitmennya terhadap NKRI. Bersama para penasihat dan perdana menterinya, yaitu Datuk Muhammad Paduka Raja dan Datuk Natsir, Sultan membentuk tim diplomasi untuk menyuarakan bahwa Bulungan berdiri di belakang Republik Indonesia.

Datuk Tiras menghadiri sidang pleno di Malino, Sulawesi Selatan dan turut serta dalam pertemuan-pertemuan kenegaraan di Yogyakarta. Dalam upaya tersebut, nama Bulungan mulai dikenal di tingkat nasional dan internasional.

Keinginan Sultan untuk bergabung dengan republik bahkan membuat pemerintah kolonial Belanda cemas. Ratu Wilhelmina sempat mengirim utusan seorang Letnan Kolonel Tentuler, untuk membujuk Sultan agar tetap berada di bawah naungan Belanda. Namun Sultan menolak dengan tegas.

“Pulau Jawa dan Sumatera saja sudah merdeka. Rakyat kami juga ingin seperti itu. Kami berdiri 100 persen di belakang Republik Indonesia,” tegas Sultan, sebagaimana dituturkan oleh Datuk Dissan Hasanuddin yang merupakan putra Datuk Tiras.

Bulungan, Daerah yang Tak Pernah Dijajah

Dalam penelusuran ke Belanda tahun 1999, pihak Kesultanan menemukan dokumen penting yang menunjukkan bahwa Bulungan tidak pernah dijajah oleh Belanda. Sama seperti Thailand di Asia Tenggara, hubungan Bulungan dengan Belanda lebih bersifat bisnis bilateral, bukan penjajahan. Salah satu kerja sama strategis kala itu adalah pembukaan ladang minyak oleh perusahaan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Tarakan dan Pulau Bunyu.

“Sultan bahkan membeli kapal langsung dari Belanda. Kapal-kapal seperti Bulungan Netherlands dan Warmond dibeli dari Rotterdam. Kami cek sendiri pabrik pembuatnya saat di Eropa,” jelas Datuk Disan.

Tragedi 1964: Peristiwa Bultiken dan Hilangnya Sultan ke-12

Pasca wafatnya Sultan Djalaluddin, tampuk kekuasaan berpindah kepada Datuk Mukamar yang bergelar Raja Muda Azimuddin, menjabat sebagai Sultan Bulungan ke-12. Namun pada tahun 1964 terjadi tragedi besar yang dikenal sebagai peristiwa Bulungan, Tidung, Kenyah/Dayak (Bultiken).

Pemerintah saat itu, yang dipengaruhi oleh isu konfrontasi Indonesia–Malaysia, menuduh Kesultanan Bulungan sebagai pihak yang pro-Malaysia. Jenderal Panglima KODAM IX Mulawarman kala itu, Soehario Padmodiwirio, memerintahkan operasi penangkapan terhadap para tokoh Kesultanan. Sultan ke-12 dan sekitar 47 anggota keluarga kesultanan diculik dan hingga kini tidak diketahui nasibnya.

“Tiga istana kami dibakar, seluruh harta benda dijarah, dan kami diusir dari tanah sendiri,” kata Datuk Dissan dengan nada haru.

Harapan Menjadi Pahlawan Nasional

Melihat rekam jejak kepemimpinan, peran dalam diplomasi kemerdekaan, serta kontribusi terhadap persatuan dan perdamaian di wilayah Kalimantan Utara, pihak Kesultanan Bulungan berharap pemerintah pusat dan daerah dapat mendorong pengakuan atas jasa Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin.

“Kami sangat berharap beliau dapat diangkat sebagai pahlawan nasional asal Kalimantan Utara. Ini bukan hanya harapan kami, tetapi harapan masyarakat luas yang mengenal sejarah beliau,” tutup Raja Muda Datuk Disan Hasanuddin. (*/eko/gio)

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *