Jumlah Pemudik Turun, Ekonom: Cerminan dari Perlambatan Ekonomi

benuanta.co.id, TARAKAN – Jumlah pemudik pada libur Idulfitri di tahun 2025 diproyeksikan menurun. Secara nasional, Kementerian Perhubungan memproyeksikan pemudik turun sebesar 24,4 persen. Di Kaltara sendiri, mudik melalui jalur laut dan udara turut mengalami penurunan.

Menurunnya jumlah pemudik tahun ini bukan hanya sekadar perubahan kebiasaan masyarakat, namun menyimpan dampak ekonomi yang mendalam. Efisiensi anggaran, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, menjadi pemicu utama berkurangnya mobilitas masyarakat menjelang Lebaran, termasuk di Kalimantan Utara (Kaltara).

Hal ini disampaikan oleh pakar ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan (UBT), Dr. Margiyono, S.E., M.Si. Menurutnya, penurunan jumlah pemudik merupakan cerminan dari perlambatan ekonomi, khususnya pada sektor investasi swasta dan belanja pemerintah.

“Penurunan jumlah pemudik tahun ini menimbulkan efek ekonomi yang cukup fundamental, baik dari sisi investasi maupun konsumsi,” ungkap kepada benuanta.co.id, Senin (7/4/2025).

Ia menyebut, investasi swasta yang menurun juga berdampak pada penyediaan lapangan kerja. Dr. Margiyono menambahkan, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di berbagai perusahaan menjadi indikator nyata dari melemahnya investasi.

Baca Juga :  Bulungan Tidak Terindikasi BBM Oplosan

“Banyak karyawan yang kehilangan pekerjaan, otomatis pendapatan mereka berkurang, dan itu memengaruhi kemampuan mereka untuk pulang kampung,” ujarnya.

Hal ini menjadi penyebab utama masyarakat menunda rencana mudik karena pengeluaran harus difokuskan pada kebutuhan pokok. Tak hanya PHK, menurutnya, persaingan penciptaan lapangan kerja kini semakin rumit karena dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk.

“Sekarang ini bukan cuma perusahaan bersaing sesama perusahaan, tapi juga bersaing dengan AI dan mesin yang mengambil alih banyak pekerjaan,” jelasnya.

Penggunaan teknologi ini membuat kebutuhan akan tenaga kerja menurun secara drastis. Dalam konteks transportasi, digitalisasi juga membawa dampak yang signifikan.

“Pekerjaan seperti sopir tradisional mulai tergantikan oleh sistem online, tapi pendapatannya tidak sebanding karena ada persaingan antar pelaku transportasi daring,” ungkapnya.

Ia menambahkan margin keuntungan di sektor ini makin menyempit sehingga tidak cukup menopang kebutuhan menjelang Lebaran. Tak hanya sektor transportasi, sektor perdagangan juga ikut terdampak karena pergeseran perilaku masyarakat.

Baca Juga :  BPBD Kaltara Rencanakan Gelar Vertical Rescue pada Bangunan Gedung

“Sekarang orang lebih banyak belanja online dibanding ke toko atau mall, akibatnya sektor perdagangan konvensional ikut terpukul,” katanya.

Walaupun pengiriman online meningkat, tetapi dampaknya tidak cukup untuk menyelamatkan ekonomi sektor lainnya secara keseluruhan. Masalah menjadi lebih kompleks ketika belanja pemerintah yang seharusnya menjadi penopang saat sektor swasta lesu, justru ikut mengalami efisiensi besar-besaran.

“Kalau swasta lemah, seharusnya pemerintah bisa jadi bantalan, tapi kenyataannya belanja pemerintah juga turun,” tegasnya.

Dr. Margiyono juga menyoroti, banyak ASN yang hanya bisa mengandalkan THR karena gaji pokok mereka sudah terserap untuk pinjaman-pinjaman produktif. Ia juga menyinggung kondisi khusus Kaltara yang menurutnya menghadapi tantangan lebih besar dibanding daerah lain.

“Lebih dari 50 persen tenaga kerja di Kaltara bekerja di sektor informal, tanpa jaminan kesehatan, hari tua, dan THR. Daya beli mereka sangat terbatas,” paparnya.

Baca Juga :  PJU Korem 092/Maharajalila Berganti, Danrem Pesan Tetap Jaga Nama Baik Satuan

Efek dari kondisi ini adalah semakin rendahnya konsumsi masyarakat, termasuk untuk kebutuhan mudik dan perayaan Lebaran. Meski begitu, Dr. Margiyono melihat peluang yang bisa dimaksimalkan untuk mendorong pemulihan ekonomi daerah.

“Kaltara punya harapan lewat ekspor, karena nilai tukar rupiah yang melemah bisa jadi peluang untuk meningkatkan surplus ekspor seperti perikanan dan tambang,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya kerja sama intens antara pemerintah daerah dan Bank Indonesia, agar hasil ekspor bisa kembali menjadi devisa dalam negeri. Sebagai penutup, Dr. Margiyono menegaskan solusi utama tetap berada di tangan pemerintah. Menurutnya, pemerintah tidak hanya wajib menjaga stabilitas fiskal, tapi juga menjamin kesejahteraan masyarakat melalui intervensi yang tepat sasaran.

“Pemerintah punya hak paksa lewat pajak, jadi wajib hukumnya mereka menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam memulihkan ekonomi,” tutupnya. (*)

Reporter: Eko Saputra

Editor: Endah Agustina

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *