benuanta.co.id, TARAKAN – Kembalinya geliat aktivitas Tarakan Mall dengan kehadiran JCO, Mako dan beberapa brand ternama lain yang direncanakan masuk, menandai babak baru pusat perbelanjaan modern di Kalimantan Utara (Kaltara). Namun, fenomena ini bukan tanpa konsekuensi bagi dinamika ekonomi lokal, terutama di tengah struktur pendapatan dan sebaran penduduk yang khas di wilayah ini.
Pakar ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan, Dr. Margiyono, S.E., M.Si., menjelaskan untuk menilai dampaknya, perlu melihat struktur pendapatan masyarakat Kaltara. Struktur ini menjadi penentu utama, dalam menganalisis kemampuan konsumsi masyarakat terhadap kehadiran pusat-pusat belanja baru.
“Masyarakat kita itu, khususnya di Kaltara, mayoritas bekerja di sektor informal. Di bawahnya ada ASN dan TNI-Polri,” ujarnya kepada benuanta.co.id, Senin (7/4/2025).
Fenomena yang perlu dicermati menurut Dr. Margiyono adalah jebakan sebaran penduduk atau trap population. Ia menyebut, dari sekitar 700 ribu jiwa yang ada di Kaltara, hanya sepertiga yang bermukim di pusat kota. Sisanya tinggal di daerah yang jauh dari pusat ekonomi, yang menyebabkan mahalnya biaya distribusi barang dan jasa.
“Mengapa saya katakan itu jebakan penduduk? Karena penduduk kita itu sudah sedikit, tapi terpecah atau menyebar pula,” ungkapnya.
Kondisi tersebut berdampak langsung pada kedangkalan pasar di perkotaan. Ini terjadi karena jumlah konsumen terbatas yang harus diperebutkan oleh banyak pelaku usaha. Fenomena ini sudah terlihat sejak dekade lalu ketika toko-toko besar seperti Makmur, Metro, dan Tolaram Putra perlahan tutup bersamaan dengan munculnya Ramayana sebagai pusat belanja yang lebih modern dan nyaman.
“Usaha yang ada di perkotaan ini mengalami kedangkalan pasar,” imbuhnya.
Dr. Margiyono mengungkapkan, meskipun Ramayana sempat bertahan, ia pun tidak kebal dari tekanan. Bahkan unit usaha di dalam Ramayana yang ada seperti mini market, juga kewalahan menghadapi kompetitor seperti Alfamidi dan Indomaret. Menurutnya, bukan karena produk mereka tidak laku, tapi karena konsumen yang terbatas.
“Sekarang dari toko-toko yang lama itu yang masih lumayan eksis adalah Ramayana, yang bahkan juga mengalami gempuran dengan adanya belanja online,” ungkapnya.
Munculnya brand-brand baru di Tarakan Mall memang memiliki sisi positif, terutama dari aspek pemanfaatan aset. Namun, Dr.Margiyono mengingatkan, kehadiran usaha-usaha besar yang terpusat di kota juga akan berdampak pada bisnis yang telah lebih dahulu hadir, seperti Ramayana.
“Tarakan Mall itu gedung yang dibangun dengan biaya mahal, kalau tidak dimanfaatkan maka kita namanya mengalami kerugian investasi,” jelasnya.
Untuk menghindari konflik pasar, ia mengusulkan segmentasi yang saling melengkapi antara Tarakan Mall dan Ramayana.
“Saran saya, Ramayana tetap menjual produk seperti sekarang, sementara Tarakan Mall menghadirkan merek-merek yang berbeda. Keduanya akan bersikap saling melengkapi, bukan saling menggantikan,” terangnya.
Dengan begitu, pasar menengah ke bawah tetap dilayani Ramayana, dan pasar menengah ke atas bisa disasar oleh Tarakan Mall. Namun, ia mengingatkan agar optimisme tidak menutup mata dari kenyataan.
“Segmentasi untuk masyarakat menengah ke atas juga terbatas karena kebanyakan mereka yang elit tidak berasal dari Kaltara,” katanya.
Dr. Margiyono mempertanyakan apakah para pemilik modal akan tetap berbelanja di Kaltara setelah proyek mereka cair, atau justru membawa modalnya ke luar daerah. Ia menekankan pentingnya kajian mendalam terhadap daya serap pasar. Ia menyarankan pemerintah dan investor bersikap realistis dengan mempertimbangkan segmentasi pasar, daya beli masyarakat, serta kondisi sosial agar roda ekonomi bisa bergerak beriringan, bukan saling menekan.
“Brand-brand ternama ini harus diperhitungkan berapa daya serapnya di Kaltara, supaya tidak senasib dengan toko-toko yang terlebih dahulu hadir yang perlahan mati,” pungkasnya. (*)
Reporter: Eko Saputra
Editor: Yogi Wibawa