benuanta.co.id, TARAKAN – Peningkatan jumlah kendaraan pribadi di Kota Tarakan semakin tidak terkendali. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kemacetan dan penggunaan ruang jalan yang tidak efektif, tetapi juga mengancam keberadaan transportasi publik.
Para ahli menilai, pola konsumsi masyarakat serta kurangnya kebijakan pengendalian kendaraan menjadi faktor utama di balik permasalahan ini.
Praktisi ekonomi Dr. Margiyono, S.E., M.Si., menyoroti kondisi angkutan jalan di Kalimantan Utara (Kaltara) yang mengalami penurunan signifikan, terutama dari sisi kendaraan darat.
“Kalau kita melihat segmentasi angkutan, ada tiga. Darat, laut, dan udara. Kalau yang disorot adalah angkutan darat, maka bisa dikatakan angkutan darat kita mengalami kematian dini,” ujarnya kepada benuanta.co.id, Kamis (13/3/2025).
Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan matinya angkutan umum adalah gaya hidup masyarakat yang dipengaruhi oleh demonstration effect.
“Misalnya, kalau tetangganya beli motor, dia juga beli motor. Kalau orang lain beli mobil, dia pun ikut membeli mobil,” jelasnya.
Dampak dari perilaku konsumtif ini membuat transportasi publik kehilangan peminat dan akhirnya mati. Ketika setiap individu lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, maka jalan yang seharusnya dimanfaatkan secara kolektif justru menjadi sarana untuk kendaraan pribadi.
“Ini menyebabkan inefisiensi ekonomi, baik dari sisi bahan bakar maupun waktu tempuh akibat kemacetan,” tambahnya.
Margiyono juga menyoroti dampak dari minimnya regulasi pemerintah terkait pengendalian jumlah kendaraan. Sekarang jalan-jalan di Tarakan lebih banyak digunakan untuk parkir ketimbang untuk lalu lintas.
“Ini karena banyak pemilik kendaraan, terutama mobil, yang tidak memiliki garasi,” tegasnya.
Ia menilai, pemerintah perlu menerapkan kebijakan tegas, salah satunya dengan mengenakan pajak tinggi bagi mereka yang memarkir kendaraan di jalan umum. Ketika seseorang tidak memiliki garasi, otomatis mereka parkir di jalan dan mengubah hak publik menjadi hak pribadi.
“Seharusnya ada pajak lebih tinggi bagi mereka yang menggunakan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi,” sarannya.
Sementara itu, pemerhati transportasi Dr. Ir. Muhammad Djaya Bakri, S.T., M.T., mengungkapkan, lonjakan kendaraan pribadi di Tarakan berpotensi memperburuk kualitas infrastruktur jalan.
“Jalan di Tarakan didesain dengan kapasitas tertentu. Ketika jumlah kendaraan melebihi kapasitas yang ada, otomatis akan terjadi kemacetan yang berujung pada penurunan umur teknis jalan,” jelasnya.
Menurutnya, peningkatan jumlah kendaraan pribadi juga berdampak pada tingginya biaya perawatan jalan. Semakin banyak kendaraan yang melintas, semakin cepat terjadi kerusakan jalan.
“Hal ini menuntut pemerintah untuk lebih sering melakukan perbaikan, yang tentu membutuhkan anggaran besar,” katanya.
Djaya Bakri menyoroti minimnya infrastruktur pendukung bagi pejalan kaki dan pengguna kendaraan non-motor di Tarakan. Ia menilai kota ini belum memiliki jalur pejalan kaki dan jalur sepeda yang layak.
“Padahal, di kota-kota besar yang berhasil mengatasi kemacetan, pemerintahnya menyediakan fasilitas yang mendukung mobilitas tanpa kendaraan bermotor,” ungkapnya.
Ia menegaskan, solusi utama untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi adalah dengan menerapkan sistem angkutan umum massal (SAUM). Dalam kajian transportasi, solusi terbaik untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi adalah menerapkan sistem angkutan umum massal.
“Jika tidak segera diterapkan, maka mobilitas di Tarakan akan semakin terganggu dan berdampak pada produktivitas masyarakat,” paparnya.
Lebih lanjut, Djaya Bakri mengusulkan agar pemerintah mulai merancang kebijakan yang membatasi pertumbuhan kendaraan pribadi.
Beberapa daerah di Indonesia sudah menerapkan kebijakan seperti pembatasan kendaraan berdasarkan pelat nomor ganjil-genap, tarif parkir progresif, hingga pembatasan usia kendaraan yang boleh beroperasi.
“Tarakan bisa mulai mengkaji kebijakan serupa agar masalah ini tidak semakin parah,” katanya.
Selain itu, ia menekankan perlunya integrasi antara kebijakan transportasi dan tata kota. Tidak cukup hanya menyediakan angkutan umum, tetapi harus diikuti dengan perencanaan tata kota yang mendukung penggunaan transportasi publik.
“Jika tidak, masyarakat tetap akan memilih kendaraan pribadi karena merasa angkutan umum tidak efisien,” tuturnya.
Djaya Bakri berharap pemerintah lebih serius dalam menata sistem transportasi di Tarakan agar dampak dari peningkatan jumlah kendaraan tidak semakin besar.
Sebab jika dibiarkan tanpa penanganan, masalah ini tidak hanya berdampak pada kemacetan, tetapi juga pada lingkungan, kualitas udara, dan tingkat stres masyarakat.
“Ini saatnya mengambil langkah nyata sebelum terlambat,” tutupnya.
Reporter: Eko Saputra
Editor: Yogi Wibawa