benuanta.co.id, TARAKAN – Merebaknya isu peredaran BBM Pertamax oplosan mengikis kepercayaan masyarakat Indonesia terutama bagi wilayah yang sangat bergantung pada distribusi BBM resmi. Pengamat ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan (UBT), Dr. Margiyono, S.E., M.Si., menilai, kasus ini berpotensi merugikan Pertamina secara luas.
“Pada dasarnya, tiap sektor itu adalah persaingan, termasuk sektor energi. Pertamina yang mendominasi pasar di Indonesia bisa kehilangan kepercayaan masyarakat akibat isu ini,” ungkapnya kepada benuanta.co.id, Kamis (13/3/2025).
Menurutnya, kepercayaan masyarakat terhadap suatu perusahaan adalah aset penting. Jika perusahaan seperti Pertamina tidak mampu menjaga integritasnya, maka daya saingnya akan semakin melemah, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kasus ini tidak hanya berdampak pada Pertamina sebagai perusahaan, tetapi juga pada iklim persaingan energi nasional maupun internasional.
“Indonesia bersaing dengan Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, dan negara lain. Begitu juga Kalimantan Utara yang harus bersaing dengan Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan dalam hal investasi dan produk,” jelasnya.
Persaingan antara Pertamina dan perusahaan minyak negara lain, seperti Petronas di Malaysia, juga menjadi perhatian.
“Dalam dunia bisnis, menjaga image perusahaan itu hukum besi. Tapi pada kenyataannya, praktik di lapangan justru menunjukkan sebaliknya,” tambahnya.
Dalam analisisnya, Dr. Margiyono mengangkat teori self-interest atau kepentingan pribadi. Menurutnya, dalam dunia bisnis dan pemerintahan, semua individu cenderung lebih memikirkan kepentingan sendiri dibandingkan kepentingan bersama.
“Tidak ada orang yang benar-benar mencintai orang lain. Semua orang mencintai dirinya sendiri. Hal-hal baik yang dilakukan pun, pada akhirnya, kembali kepada dirinya sendiri,” ujarnya.
Sayangnya, dalam kasus korupsi Pertamina, tindakan yang dilakukan oleh oknum-oknum ini justru merugikan banyak pihak. Tiap hal baik yang dilakukan, akan berbalik baik juga, begitupun sebaliknya.
“Setiap tindakan pasti ada ganjarannya,” tegasnya.
Dampak dari kasus ini sangat luas, terutama bagi perekonomian masyarakat. Masyarakat terpaksa membayar lebih untuk produk yang kurang berkualitas.
“Padahal, makin tinggi nilai suatu produk, makin tinggi pula kualitas dan manfaatnya. Namun, BBM oplosan ini justru menurunkan kualitas,” paparnya.
Bagi masyarakat yang membeli Pertamax demi performa dan keamanan kendaraan, isu ini semakin meresahkan. Apalagi, sempat beredar kabar sekitar satu bulan lalu, kendaraan Presiden RI justru mengisi BBM di pom bensin Shell, bukan di SPBU Pertamina.
“Faktanya, ini menunjukkan, mereka yang ada di atas pun sudah tidak percaya lagi pada Pertamina,” jelasnya.
Ketidakpercayaan terhadap Pertamina juga bisa merembet ke kepercayaan terhadap pemerintah. “Dampaknya bukan hanya merugikan Pertamina, tapi juga bisa menciptakan kecurigaan antar sesama warga negara,” tambahnya.
Meskipun Kejaksaan telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini, masih banyak masyarakat yang menduga adanya keterlibatan pihak lain.
“Oleh karena itu, perlu ada langkah konkret untuk memulihkan citra Pertamina,” imbuhnya.
Menurutnya, salah satu solusi yang diajukan adalah dengan memberikan kompensasi kepada masyarakat. Momentum Lebaran yang sebentar lagi tiba juga bisa dimanfaatkan. Saat arus mudik, masyarakat pasti berbondong-bondong membeli BBM.
“Pertamina bisa menurunkan harga Pertamax, setara dengan Pertalite atau bahkan di bawahnya, sebagai bentuk pemulihan kepercayaan. Jika harga Pertamax diturunkan pada saat itu, mereka akan lebih memilih Pertamax, sehingga bisa membangun kembali kepercayaan publik,” jelasnya.
Meski akan ada biaya yang harus ditanggung, langkah ini dinilai sepadan demi mempertahankan reputasi Pertamina di mata masyarakat dan dunia internasional. Jika tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin Pertamina akan semakin kehilangan pangsa pasarnya dan berdampak pada stabilitas ekonomi nasional.
“Walaupun biaya yang dikeluarkan akan besar, ini sepadan demi mengembalikan kepercayaan masyarakat,” tukasnya.
Kasus ini memicu reaksi keras dari masyarakat, terutama pengguna BBM yang merasa dirugikan. Wahyu, seorang pengemudi ojek online di Tarakan, mengaku khawatir dengan kualitas BBM yang beredar saat ini.
“Saya biasanya pakai Pertamax karena motor lebih awet dan irit. Tapi setelah dengar kabar ini, jadi was-was, takut mesin cepat rusak,” ujarnya.
Sementara itu, Fadli, seorang pegawai swasta di Tarakan, menyoroti dampak lebih luas dari kasus ini. Menurutnya, pemerintah harus lebih ketat dalam mengawasi distribusi BBM agar kejadian seperti ini tidak terulang.
“Sebagai konsumen, tentu saja kalau memang ada oplosan, saya merasa dirugikan. Kita bayar mahal untuk BBM yang seharusnya berkualitas, tapi malah dapat BBM oplosan. Kalau dibiarkan, masyarakat yang jadi korban,” tandasnya. (*)
Reporter: Eko Saputra
Editor: Yogi Wibawa