Fenomena Pertamax Oplosan Mengancam Ketersediaan BBM Subsidi

benuanta.co.id, TARAKAN – Kasus BBM oplosan kembali mencuat dan menjadi perhatian publik. Kali ini, dugaan praktik pengoplosan menyasar Pertamax, jenis BBM nonsubsidi yang banyak digunakan oleh kendaraan pribadi dengan kapasitas mesin di atas 1.500 cc. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi para pemilik kendaraan yang mengandalkan Pertamax untuk menjaga performa mesin. Selain itu, dampak lebih luas juga dikhawatirkan terjadi jika fenomena ini terus berlanjut tanpa penanganan serius.

Pemerhati transportasi, Dr. Ir. Muhammad Djaya Bakri, S.T., M.T., menilai, regulasi yang mengatur distribusi BBM bersubsidi saat ini sudah cukup baik. Pemerintah telah menerapkan sistem barcode untuk memastikan subsidi tepat sasaran, terutama bagi kendaraan roda empat dengan kapasitas mesin hingga 1.500 cc serta kendaraan roda dua.

“Regulasi yang ada sebenarnya sudah cukup ketat. Dengan sistem barcode, distribusi BBM bersubsidi menjadi lebih terkontrol dan diharapkan tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak berhak,” ujarnya kepada benuanta.co.id, Rabu (12/3/2025).

Baca Juga :  Layanan BPJS Kesehatan Tetap Bisa Diakses Meski Libur Lebaran

Namun, munculnya BBM oplosan, khususnya pada Pertamax, berpotensi menimbulkan masalah baru. Kendaraan pribadi dengan kapasitas mesin besar yang selama ini menggunakan Pertamax bisa terdampak akibat kualitas bahan bakar yang tidak sesuai standar. Meskipun hal ini tidak langsung mempengaruhi transportasi massal seperti angkutan umum yang menggunakan BBM bersubsidi, dampaknya terhadap kendaraan pribadi tetap signifikan.

“Bahan bakar yang buruk pasti berpengaruh pada kinerja mesin kendaraan. Ini bisa menyebabkan kerusakan pada mesin dalam jangka panjang, meskipun tidak berdampak pada kondisi jalan atau jembatan,” jelasnya.

Salah satu kekhawatiran terbesar dari fenomena ini adalah kemungkinan kendaraan yang seharusnya menggunakan Pertamax beralih ke Pertalite secara ilegal. Jika hal ini terjadi dalam skala besar, pasokan BBM subsidi bisa terganggu.

“Kalau banyak pengguna kendaraan di atas 1.500 cc yang memilih beralih ke Pertalite, maka stok BBM subsidi bisa berkurang drastis. Padahal, BBM subsidi ini diperuntukkan bagi angkutan umum yang bergantung pada bahan bakar dengan harga lebih terjangkau,” tambahnya.

Baca Juga :  Kebakaran Pabrik Pembekuaan Udang Diduga karena Arus Pendek Listrik 

Kelangkaan BBM subsidi bagi angkutan umum tidak hanya berdampak pada sektor transportasi, tetapi juga bisa mengganggu distribusi barang. Jika angkutan umum, terutama truk pengangkut kebutuhan pokok, kesulitan mendapatkan BBM subsidi, distribusi barang bisa tersendat. Akibatnya, harga bahan-bahan pokok di pasaran dapat mengalami kenaikan karena biaya logistik yang meningkat.

“Dampaknya bisa berantai. Jika angkutan umum kekurangan BBM, distribusi barang terganggu, dan ujung-ujungnya harga kebutuhan pokok bisa melonjak,” ujarnya.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah konkret dari pihak terkait, terutama Pertamina sebagai distributor BBM di Indonesia. Djaya mengusulkan agar Pertamina mengambil tindakan nyata untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Pertamax. Salah satu solusinya adalah dengan menyediakan sampel Pertamax asli di setiap SPBU agar konsumen bisa melihat langsung perbedaannya dengan BBM oplosan.

Baca Juga :  922 Warga Binaan Lapas Tarakan Diusulkan Terima Remisi Idulfitri

“Jika masyarakat bisa melihat dan membandingkan langsung kualitas Pertamax asli dengan yang mereka beli, ini bisa meningkatkan kepercayaan dan mengurangi keresahan,” paparnya.

Selain itu, pengawasan terhadap distribusi BBM juga harus diperketat untuk mencegah praktik pengoplosan. Pihak berwenang perlu bekerja sama dengan aparat hukum untuk menindak tegas oknum yang terlibat dalam pengoplosan BBM.

“Masalah ini harus segera ditangani dengan serius. Jika tidak, dampaknya bisa semakin meluas dan merugikan banyak pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat,” tegasnya.

Djaya mengungkapkan, kasus Pertamax oplosan ini menunjukkan, meskipun regulasi sudah berjalan, celah-celah penyalahgunaan masih ada. Oleh karena itu, langkah preventif dan tindakan nyata dari pihak terkait menjadi adalah kunci utama.

“Hal ini untuk menyelesaikan permasalahan sebelum menimbulkan dampak yang lebih besar,” tandasnya. (*)

Reporter: Eko Saputra

Editor: Yogi Wibawa

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *