benuanta.co.id, NUNUKAN – Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A) Kabupaten Nunukan mencatat puluhan Kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi selama tahun 2024 ini.
Kepala DSP3A Nunukan, Faridah Aryani melalui Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak, DSP3A Nunukan, Endah Kurniawati mengatakan, berdasarkan data dari bulan Januari hingga Oktober 2024 ini setidaknya ada 31 kasus yang sudah ditangani oleh pihaknya.
“Untuk jenis kasusnya, itu didominasi kasus kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 21 kasus, eksploitasi anak 3 kasus, dan kekerasan fisik terhadap anak 2 kasus ,” kata Endah kepada benuanta.co.id, Senin (16/12/2024).
Diungkapkannya, adapun korban anak dari kasus ini rentan dari usai 5 tahun hingga 18 tahun. Sementara itu, untuk kasus perempuan sejak Januari hingga Oktober 2024 ada sebanyak 6 kasus yang mana perempuan menjadi korban kekerasan dan eksploitasi.
Sedangkan untuk korban Kasus TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) ada 2 kasus. Yang mana, korbannya satu orang perempuan berusia 20 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun.
“Untuk data bulan November dan Desember saat ini kita masih melakukan pendataan, karena beberapa kasus masih ditangani di pihak Kepolisian. Seperti kasus yang terakhir yakni pelecehan yang dilakukan oleh pelatih Taekwondo itu masih berproses sehingga kita masih belum tahu pasti berapa pasti total anak yang menjadi korban,” ungkapnya.
Endah mengungkapkan, berdasarkan data tersebut angka kekerasan seksual terhadap anak sangat menjadi perhatian, pasalnya pelaku dari kasus kekerasan seksual terhadap anak ini dilakukan oleh orang terdekat korban.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan anak rentan menjadi korban kekerasan seksual. Diantaranya faktor ekonomi, pola asuh orang tua, pergaulan bebas, termasuk keseringan menonton atau melihat hal yang mengandung unsur pornografi lewat smartphone.
“Untuk kasus kekerasan anak ini memang sebagian besar itu pelakunya orang terdekat, seperti ada yang dilakukan oleh kakeknya, paman, bapak tiri bahkan tetangga dari korban,” ungkapnya.
Bahkan, pihaknya pernah menangani kasus seorang anak perempuan yang putus sekolah saat masuk ke tingkat SMA. Namun anak tersebut mengaku saat ia duduk di bangku sekolah SMP ia telah melayani lelaki hidung belang.
Anak tersebut mengaku memasang tarif paling rendah Rp 300 ribu dan paling tinggi Rp 800 ribu. Anak tersebut mengaku, kedua orang tuanya telah bercerai. Ia pun memilih untuk tinggal bersama ibunya yang hanya bekerja sebagai buruh serabutan. Sehingga, dengan gaya hidup dan pergaulan yang tidak diawasi anak tersebut kemudian terjun ke dunia prostitusi.
Diungkapkannya, terhadap nak yang telah menjadi korban kekerasan, pihaknya memberikan penanganan berupa pengobatan trauma dengan pendampingan langsung dari psikolog.
Ia juga berharap, kepada masyarakat Nunukan apabila mendapatkan informasi terkait kekerasan terhadap anak bisa malaporkan kasus tersebut ke pihaknya.
“Kita akan rahasiakan identitas pelapor begitupun dengan korban. Kami akan membantu memberikan pendampingan kepada korban baik saat melaporkan ke pihak Kepolisian, proses BAP, pelimpahan ke Kejaksaan, bahkan saat proses persidangan kita akan melakukan pendampingan terhadap anak tersebut,” tuturnya. (*)
Reporter: Novita A.K
Editor: Ramli