PPN 12 Persen di 2025? Margiyono: Pertumbuhan Ekonomi Sedikit Berat

PEMERINTAH PUSAT berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk diterapkan pada 2025. Rumusan kebijakan ini tampaknya masih digodok pemerintah dan akan disampaikan kepada masyarakat pekan depan untuk finalisasinya.

Lalu, apakah PPN 12 persen ini dapat mengubah perekonomian di Indonesia? Dampak apa yang dimunculkan ketika pemerintah benar-benar menerapkan di Indonesia, khususnya bagi provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).

Saat ini, pembahasan PPN masih dalam tahap simulasi dengan kementerian terkait. Meski begitu, nasib PPN 2025 menjadi topik hangat di kalangan masyarakat.

Akademisi Ekonomi Universitas Borneo Tarakan, Dr. Margiyono, S.E., M.Si., menjelaskan, PPN merupakan salah satu pajak yang akan diterima oleh pemerintah pusat. Dalam kondisi ini, pemerintah berencana menaikkan PPN 1 persen yang artinya tidak terlalu naik signifikan.

Menurut Margiyono, pemerintahan di kepemimpinan Prabowo dinilai membutuhkan pembiayaan yang besar untuk merealisasikan janji politiknya.

Baca Juga :  Pemkab Nunukan Minta Masyarakat Lapor jika Temukan Harga LPG di Atas HET  

“Baik itu program sesuai janji kampanye atau banyaknya kementerian yang baru dibuka. Kementerian yang baru dibuka ini tentu memiliki kebutuhan anggaran masing-masing yang juga semakin besar pula. Jadi kenaikan ini menurut saya juga belum mengcover sebagian kebutuhan dari kabinet,” jelasnya.

Berdasarkan analisisnya, jika terdapat 10 kementerian baru dengan realisasi PPN 12 persen, maka 1 kementerian hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp 2 triliun saja.

Tetapi ada yang lebih penting dibandingkan PPN untuk kebutuhan kementerian. Margiyono menyebut, masyarakat akan menjadi korban utama dalam naiknya PPN menjadi 12 persen. Seluruh harga barang baik untuk konsumsi dan non konsumsi menjadi lebih tinggi.

“Mahalnya dimana kalau kita harapkan dengan inflasi sebesar 3,5 persen lalu PPN dinaikkan 1 persen artinya terjadi penurunan pendapatan rata-rata 4,5 sampai 5 persen. Apalagi inflasi itu menggerus kesejahteraan masyarakat,” bebernya.

Kenaikan PPN ini juga seiring dengan pemerintah yang menaikkan upah minimum sebesar 6,5 persen. Artinya masyarakat juga hanya menerima kenaikan sebesar 1,5 persen saja.

Baca Juga :  Realisasi PAD Pajak Kendaraan Tahun 2024 di Nunukan Rp 38 Miliar 

“Karena upah dikurangi inflasi, pajak jadilah 1,5 persen itu. Ya tidak berefek,” tegasnya.

Jika nasib PPN 12 persen diamini pemerintah pusat, Margiyono menilai pertumbuhan ekonomi menjadi sedikit berat. Hal ini dikarenakan akan menurunnya daya beli masyarakat. Apalagi, PPN tak dapat dipisahkan dari konsumsi masyarakat.

Turunnya daya beli masyarakat akan berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia termasuk di Kaltara.

“PPN sebenarnya dilematis. Sebagai upaya untuk mendorong pendapatan pemerintah, tapi kontra terhadap pertumbuhan ekonomi. Kalau masyarakat belanja makin banyak, permintaan makin banyak sehingga produksi tinggi akhirnya pertumbuhan ekonomi juga tinggi,” jelasnya.

Lanjut Margiyono, mungkin maksud dari pemerintah menaikkan PPN 12 persen untuk penguatan APBN. Namun, angan-angannya, APBN justru tak dikuatkan maksimal, apalagi dampak ekonomi yang akan melemah. Kemudian masyarakat akan terpukul dengan kenaikan harga barang dan inflasi.

Baca Juga :  Sepanjang 2024, BPJS Ketenagakerjaan Tarakan dan Jajaran Bayarkan Klaim Rp 240,3 Miliar

Adapun karakteristik di Kaltara, PPN justru akan lebih banyak disumbangkan dari segi ekspor. Dalam konteks ini, dampak PPN 12 persen secara ekonomi makro tidak terlalu berdampak signifikan.

“Karena gangguan utama terhadap ekspor kita itu lebih ke nilai tukar, bagaimana naik turunnya dolar dan kurs mata uang. Apalagi saat ini kurs mata uang terus menguat,” ujar Margiyono.

PPN 12 persen secara keseluruhan, menurut Margiyono tak menguntungkan masyarakat. Terlebih, PPN ini akan dilarikan untuk biaya operasional kerja pegawai negeri saja. Lain halnya, ketika pemerintah lebih fokus terhadap pembangunan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

“Jadi seyogyanya bukan menaikkan PPN. Tapi lebih kepada bagaimana mengefisiensikan pengeluaran pemerintah pusat,” pungkasnya. (*)

Reporter: Endah Agustina

Editor: Ramli

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *