benuanta.co.id, NUNUKAN – Yulinar Sahputri Anwar sudah 5 tahun mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara).
Pertama kali mengajar di SLB Nunukan dia dipercayai sebagai guru Bahasa Inggris, untuk mengajar siswa tunarungu dan tunagrahita. Saat itu dia mengaku kesulitan berkomunikasi dengan tunarungu karena harus menggunakan bahasa isyarat.
“Mereka tidak bisa mendengarkan saya, dan saya juga tidak bisa bahasa isyarat. Kesulitannya disitu,” jelasnya.
Saat ini, dia sudah menjadi guru kelas tidak lagi sebagai guru Bahasa Inggris. Dia mengampu di kelas tunagrahita dan ada juga murid autis.
Suka duka Yulinar jalani demi memberikan pendidikan formal kepada siswa berkebutuhan khusus di Kabupaten Nunukan. Dia juga kerap kali mendapatkan kesulitan ketika menghadapi karakter peserta didik.
Kendala mengajar anak disabilitas adalah beberapa ketunaan seperti tunarungu, tunagrahita, dan autis, hiperaktif, sebagai seorang guru hrus menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan siswa tunarungu. Untuk anak penyandang autis sebagai guru memerlukan terapi agar perilaku anak bisa berubah.
Dan anak hiperaktif kesulitan untuk fokus, sehingga mereka sangat aktif dalam pembelajaran, sebagai guru harus tau caranya anak yang hiperaktif bisa duduk dengan tenang.
“Anak tunagrahita yang mentalnya di bawah rata-rata, kita harus menyediakan media pembelajaran yang menarik untuk mereka, agar mereka bisa ikut proses pembelajaran dengan baik,” kata, Yulinar Sahputri Anwar kepada benunta.co.id, Senin (25/11/2024).
Sebelum mereka masuk kelas harus diterapi secara psikologi. Jadi di SLB Nunukan mempunyai psikologi, mereka yang akan menerapi murid yang hiperaktif dan autis sehingga guru mata pelajar bisa mengajar dengan baik.
“Jadi mereka harus di terapi dulu, satu murid itu jadwalnya dala seminggu dua kali,” jelasnya.
Reporter: Darmawan
Editor: Ramli