benuanta.co.id, TARAKAN – Masalah anak-anak yang menjadi pedagang asongan di jalanan dan kafe di Tarakan semakin memprihatinkan. Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Tarakan, Rinny Faulina, mengungkapkan bahwa meskipun berbagai upaya telah dilakukan, fenomena ini tetap berlanjut.
Rinny menjelaskan meskipun Pemerintah Kota Tarakan telah melakukan penjaringan, asesmen, kunjungan rumah (home visit), serta mengedukasi orang tua, anak-anak tetap kembali berjualan setelah orang tua menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
“Kami mendapati anak-anak ini kembali ke jalanan karena kebutuhan ekonomi yang mendesak,” ungkapnya kepada Benuanta.co.id pada Senin (11/09).
Orang tua anak-anak ini sering kali tidak memiliki alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Mereka mengandalkan penghasilan anak-anak mereka sebagai satu-satunya sumber pendapatan yang memadai.
“Jika anak-anak tidak berjualan, bagaimana kami membayar kontrakan?” adalah salah satu alasan yang disampaikan para orang tua. Kondisi ini menunjukkan bahwa permasalahan ekonomi ini lebih dalam dan kompleks,” jelas Rinny.
Meskipun telah ada surat edaran Wali Kota Tarakan yang melarang fasilitas usaha seperti kafe dan restoran membiarkan anak-anak berjualan, serta imbauan kepada masyarakat untuk tidak membeli barang dari pedagang asongan anak, masalah ini belum terselesaikan.
“Saran untuk tidak membeli barang dari anak-anak itu mungkin baik di atas kertas, tetapi dalam praktiknya sulit diterapkan,” tutur Rinny.
Banyak masyarakat yang merasa iba dan akhirnya membeli barang yang dijajakan anak-anak, sehingga siklus ini terus berulang. Masalah ini semakin rumit dengan adanya hambatan administratif dalam penyaluran bantuan. Sebagian besar orang tua anak-anak tersebut berasal dari luar Tarakan dan tidak berpindah domisili demi mempertahankan akses terhadap bantuan di daerah asal mereka.
DP3APPKB juga telah bekerja sama dengan beberapa dinas, termasuk Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik, dan Persandian (DKISP) Tarakan, untuk menggunakan pengeras suara dititik lampu merah sebagai upaya pencegahan. Namun, solusi ini tampaknya hanya bersifat sementara dan belum menyentuh akar permasalahan.
Rinny juga menyoroti minimnya dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang biasanya berperan penting dalam mendukung anak-anak terlantar seperti di kota-kota besar. Di Tarakan, tidak ada LSM yang fokus pada perlindungan anak secara menyeluruh.
“Masalah ini memerlukan langkah-langkah komprehensif dan berkelanjutan yang melibatkan kerja sama erat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk memastikan hak-hak anak terlindungi,” tutupnya. (*)
Reporter: Maqbul Ambung
Editor: Ramli