benuanta.co.id, TARAKAN – Hawa panas yang dirasakan saat ini merupakan dampak dari rusaknya hutan dan mangrove di Kaltara. Berdasarkan rilis BMKG sepanjang 37 tahun, Indonesia mengalami tren kenaikan suhu sekitar 0,03 derajat celcius per tahunnya.
Sementara, berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK 2020) menyebutkan, terjadi tren kenaikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional sekitar 4,3 persen per tahunnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Kaltara, Jimmy Nasroen, MA menjelaskan hal tersebut dinilai penting karena merupakan bagian motivasi masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan.
“Jika ada regulasi yang jelas dan kompensasi terhadap masyarakat sekitar saya pikir hal tersebut perlu di didorong,” ucapnya.
Jimmy mengatakan, masyarakat diminta untuk menjaga hutan namun kompensasi ekonominya tidak ada maka hal tersebut juga menjadi kendala.
Pemerintah perlu formula khusus untuk hutan yang dilindungi agar dapat tumbuh dan mensejahterakan masyarakat sekitar.
Jangan sampai ketika warga aktif menjaga lingkungan namun tidak mendapatkan kompensasi sosial terhadap masyarakat sekitar hutan.
“Cepat atau lambat mereka akan merusak hutan itu kembali. Secara ekonomi mereka tidak mendapat apa-apa,” ungkapnya.
Jimmy sepakat bahwa perdagangan karbon dinilai penting bagi keberlangsungan keberlangsungan kehidupan dunia.
“Saya sependapat jika perdagangan karbon dapat melestarikan hutan,” terangnya.
Jimmy mengungkapkan, untuk luasan hutan bakau di Kaltara termasuk salah satu daerah yang terluas di Indonesia, beberapa saat lalu Jokowi bersama dua besar melakukan penanaman bibit mangrove di Desa Bebatu, Kabupaten Tana Tidung (KTT).
“Luasnya lahan mangrove di Kaltara merupakan potensi besar, tentu hal tersebut perlu diseriusi,” bebernya.
Guna pembangunan lingkungan hidup di Kaltara diharapkan ada kompensasi dari penjualan karbon. Hal tersebut diharapkan pemerintah dapat memberikan edukasi kepada masyarakat.
Sebelumnya, masyarakat maupun pemerintah tidak menyadari manfaat yang dimiliki hutan mangrove. Diketahui, efek rumah kaca merupakan pemanasan atmosfer bumi yang disebabkan oleh polusi udara.
“Jelas, panas yang kita rasakan merupakan efek rumah kaca, jadi tujuan pelestarian hutan mangrove diharapkan dapat mengurangi efek rumah kaca yang terjadi di dunia maupun Kaltara,” jelasnya.
Jimmy mengungkapkan, selain itu dengan menjaga hutan bakau dan mangrove yang ada di pesisir tentu hasil tangkapan udang maupun ikan semakin meningkat. Jika kelestariannya tidak terjaga tentu hal tersebut berdampak terhadap perekonomian nelayan maupun petani tambak.
“Saya pikir ini tentang persoalan mereka terhadap pentingnya keberadaan hutan mangrove terhadap kehidupan masyarakat,” tuturnya.
Di sisi lain petani tambak di Kabupaten Bulungan merupakan warga Tarakan. Hal tersebut merupakan permasalahan di Kabupaten Bulungan.
Diketahui daerah pertambakan di Kabupaten Bulungan bukanlah kawasan perkebunan melainkan kawasan hutan. Tentu pemerintah harus memberikan sanksi tegas. Dengan membuka tambak tanpa perubahan status lahan merupakan hal yang berbahaya.
“Pasti tambak-tambak tersebut tidak memiliki surat menyurat dan surat izin di kabupaten Bulungan, maka faktor hukum yang harus dipertegas agar hutan mangrove agar tetap lestari,” ujarnya.
Jimmy berharap selain pemerintah, NGO sebagai lembaga non profit yang tidak terikat dengan pemerintah harus didorong untuk berpartisipasi untuk membangun hutan mangrove di Delta Kayan.
“Tentu secara kasat mata kita bisa melihat secara langsung rusaknya kelestarian alam akibat adanya tambak maupun adanya perumahan transmigrasi, saya pikir keberadaannya harus diselaraskan dengan lingkungan” bebernya.
Selain itu Akademisi tetap mendorong dan mendukung dalam peningkatan perikanan di Kaltara khususnya dengan keberadaan tambak, dengan adanya keseimbangan harus ada lahan yang dipertahankan.
“Jadi tidak sepenuhnya kita mengusir orang yang berada di tambak, namun ada tempat yang harus dipertahankan,” tuturnya.
Jimmy menuturkan, dalam hitungan ilmiah hutan mangrove merupakan cara yang efektif dalam mengurangi panas bumi. (*)
Reporter: Okta Balang
Editor: Yogi Wibawa