Jakarta – Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan Kemenkes dr Ngabila Salama mengatakan penyakit difteri dapat menyebabkan kematian dalam waktu 48-72 jam jika tidak ditangani secara serius.
“Prosesnya (difteri) cepat, kalau tidak diobati, dalam 49-72 jam bisa meninggal. Efektivitasnya bisa mencapai 50-70 persen. Artinya, lima sampai tujuh dari 10 orang yang terkena difteri bisa meninggal,” katanya dalam gelar wicara terkait difteri yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Ngabila mengatakan difteri bergejala dengan membuat selaput putih di kerongkongan yang menyebabkan kelenjar getah bening membengkak, hingga menutupi jalur pernapasan dan menyebabkan seseorang dapat meninggal.
Dia menyebutkan difteri ditularkan melalui droplet atau percikan cairan tubuh, yang bisa ditularkan melalui bersin, batuk, dan air liur, yang kemudian masuk ke dalam tubuh melalui daerah yang terbuka seperti mata, hidung, dan mulut.
Gejala awal difteri, kata dia, seperti batuk dan pilek biasa, yang diikuti dengan demam. Adapun pada tahap selanjutnya, diikuti dengan sakit saat menelan dan nyeri tenggorokan.
“Kalau sudah stadium parah, maka terdapat pembesaran kelenjar getah bening dan leher menyerupai leher banteng. Kalau sudah begitu, toksin sudah banyak, sehingga jalan napas tertutup dan meninggal,” ujarnya.
Dalam penanganan difteri, kata Ngabila, tidak dapat dilakukan hanya dengan inkubasi atau isolasi secara mandiri seperti penyakit lainnya, karena selaput putih yang menutupi saluran pernapasan tersebut mudah berdarah. Sehingga penanganan dengan “melubangi” leher perlu dilakukan oleh dokter yang ahli di bidangnya untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Oleh sebab itu, sambungnya, tata laksana penanganan difteri berbeda dengan penyakit menular lainnya, di mana suspek difteri secara langsung tergolong sebagai pasien difteri, agar penanganan terhadap penyakitnya tidak terlambat.
“Demikian juga dengan orang di sekitarnya, segera setelah adanya suspek diberlakukan swab dengan kontak erat, pemberian antibiotik selama tujuh hari, dan melengkapi dosis imunisasi difterinya,” tambahnya.
Untuk itu, Ngabila mengimbau kepada seluruh masyarakat jika menemukan seseorang dengan gejala tersebut agar melapor ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terdekat untuk pertolongan yang lebih cepat.
Selain itu, dia juga mengimbau masyarakat agar melengkapi dosis vaksinasi difteri yang diberikan sebanyak beberapa kali, masing-masing kepada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan, usia balita (18 bulan), saat menginjak kelas 2 dan 5 Sekolah Dasar (SD), serta booster atau tambahan pada wanita dengan usia produktif (15-39 tahun).
“Imunisasi difteri prinsipnya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Pada dasarnya, pencegahan serta deteksi dan pengobatan dini adalah kunci dari mencegah kematian,” tutur Ngabila Salama.
Sumber : Antara