benuanta.co.id, TARAKAN – Puluhan umat Hindu di Kota Tarakan melaksanakan persembahyangan Hari Raya Galungan di Pura Agung Giri Jagatnatha Tarakan, Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Tarakan Barat pada Kamis (2/8/2023) malam.
Prosesi persembahyangan tersebut berlangsung dengan khidmat. Puji-pujian dilantunkan secara bersama. Pada ahkir persembahyangan, umat Hindu menerima percikan air suci dari pandita.
Ketua Panitia Perayaan Hari Raya Galungan, I Kadek Pariasa menjelaskan, seminggu sebelum kegiatan Hari Raya Galungan, umat Hindu biasanya melakukan sejumlah kegiatan seperti melakukan bersih-bersih pura. Termasuk, pada 1 Agustus membuat penjor bersama-sama sebagai wujud merayakan kemenangan. Di dalam penjor terisi hasil alam yang merupakan simbol mengucap syukur agar ke depannya umat Hindu di Kota Tarakan dapat diberikan hasil bumi yang melimpah.
Kadek menambahkan, galungan adalah kemenangan dharma melawan adharma atau kebaikan melawan kejahatan. Dengan perayaan galungan umat Hindu diharapkan dapat berbuat lebih baik.
“Hari ini kami melakukan persembahyangan bersama yang merupakan puncak dari perayaan Hari Galungan,” ucap I Kadek usai prosesi persembahyangan.
Selepas sepuluh hari usai Hari Raya Galungan, tepatnya 12 Agustus mendatang. Umat Hindu juga akan melaksanakan Hari Raya Kuningan.
“Dalam menyikapi kehidupan ini, umat Hindu di Kota Tarakan dapat berbuat ke arah yang lebih baik dengan harapan dapat bersatu padu dan lebih bersinergi,” ungkapnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Tarakan, I Nengah Pariana menjelaskan pelaksanaan perayaan Hari Raya Galungan di Kota Tarakan dengan di Bali tentu berbeda. Hal tersebut dikarenakan masyarakat pulau Bali bersifat homogen yang memiliki kepentingan, pekerjaan serta agama yang sama. Sehingga dalam pelaksanaanya bisa dilakukan serentak.
“Jika di Bali, persembahyangan galungan biasanya dilakukan pada pagi hari karena aura dunia ini cerah dan kuat,” terang Nengah.
Berbeda dengan umat Hindu di Kota Tarakan, masing-masing memiliki profesi dan kepentingan yang beragam. Atas hal tersebut persembahyangan dilakukan pada malam hari.
Nengah menerangkan, dalam ajaran umat Hindu terdapat konsep desa kala patra. Secara terpisah konsep tersebut memiliki masing-masing arti. Di antaranya desa artinya menyesuaikan tempatnya. Sedangkan kala artinya menyesuaikan dengan waktu dan patre adalah aturan.
“Atas pertimbangan tersebut kami bersepakat melaksanakan persembahyangan galungan pada malam hari,” imbuhnya.
Dalam persembayangan, pandita akan memercikan air suci agar umat hindu dapat suci bersih serta mendapatkan pencerahan, karena di dalam pikiran yang terang dan jernih dapat berbuat yang bijaksana.
Selain itu, dalam persembahyangan pandita akan memberikan bija atau beras yang telah direndam di dalam air yang telah diberikan mantra.
“Mantra itu khasnya, jika tidak ada mantra maka bija tersebut tidak ada artinya. Bija bisa dikatakan juga sebagai simbol kemakmuran,” tandasnya. (*)
Reporter: Okta Balang
Editor: Yogi Wibawa