benuanta.co.id, TARAKAN – Ballpress dan Milo direncanakan masuk dalam satu paket produk Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Akademisi menilai hal tersebut akan mencederai hierarki peraturan di atasnya dalam hal ini Peraturan menteri perdagangan No 18 tahun 2022 tentang barang dilarang ekspor dan barang yang dilarang impor.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Kaltara, Irsyad Sudirman, M.A., M.I.P menjelaskan kebijakan Raperda Ballpress dengan melihat unsur retribusi dan pajak daerah dinilai kurang tepat hal tersebut seperti diibaratkan seperti pisau dengan bantal.
Artinya, aktivitas ballpress dikategorikan sebagai aktivitas perekonomian, sedangkan retribusi dan pajak daerah adalah kegiatan domestik dalam berbagai sektor yang meliputi ekonomi, sosial maupun politik yang dikenakan paja bagi warga kawasan tertentu.
Perdagangan adalah kegiatan perekonomian antara produsen dan distributor. Dalam kacamata ekonomi hal tersebut merupakan kegiatan jual beli yang terdiri dari penyedia barang dan pembeli barang.
Sedangkan aktivitas ballpress tidak masuk dalam katagori produsen dan distributor karena barang yang di produksi adalah barang bekas produksi yang masih layak pakai dan di jual kembali yang didalamnya terdapat pertukaran nilai di setiap kegiatannya.
‘’Dalam teori perdagangan internasional, kegiatan ekonomi yang memiliki hubungan pola dan motivasi diantara Negara yang terlibat. Bahwa negara A membutuhkan hasil produksi negara B yang memiliki tujuan tertentu agar mencapai nilai persaingan dan pertumbuhan ekonomi,’’ terang Irsyad, Senin (29/7/2023).
Irsyad mengatakan, bagi sebagian negara menganggap ballpress atau dikenal thrifting merupakan kegiatan illegal karena berdampak mengurangi nilai kompetitif advantage atau persaingan produksi suatu negara.
Dalam kacamata perdagangan Internasional, setiap negara selalu melakukan proteksi terhadap nilai produksi barang yang dihasilkan dengan tujuan mengurangi efek dumpling atau penurunan penjualan yang diterapkan.
‘’Tujuannya menjaga keberlangsungan industry domestic dan menggambil hasil optimal ekspor,’’ ucap Irsyad.
Irsyad mengatakan bahwa kategori ballpress tidak semua dilarang di Indonesia. Karena kegiatan ini berefek negatif pada pelaku industri garmen dalam negeri, maka hal tersebut dilarang untuk dilakukan. Belum lagi jika ditinjau dari segi kesehatan. Pemerintah dinilai sudah tepat dalam membuat regulasi pelarangan terhadap kegiatan ballpress.
‘’Akan menjadi tanda Tanya besar jika akan dibuat regulasi terkait perdagangan ballpress untuk mengambil nilai dari jasa yang dihasilkan karena akan terlihat jelas seberapa nilai ekonomis yang dihasilkan antara barang habis pakai atau bekas dengan barang baru, Sementara, industri garmen dalam negeri sendiri baru terpenuhi 40 persen ’’ ungkapnya.
Irsyad menilai, seharusnya pemerintah ataupun lembaga legislative berfikir agar warga Malaysia berdagang ke Indonesia. Tata wilayah Kaltara berada terdepan sebagai wilayah perdagangan yang potensial bagi warga Malaysia.
‘’Bayangkan, berapa keuntungan dan perputaran ekonomi yang bisa dihasilkan dari setiap kali kunjungan dan perdagangan yang dihasilkan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD), seharusnya kita memanfaatkan momen jangka panjang ini. Selain itu, berbagai sektor bisa dihidupkan di Provinsi termuda ini. Mumpung kita diuntungkan oleh bonus demografis nasionalis,’’ ujar Irsyad.
Pemerintah dan legislatif seharusnya berkaca pada negara Turki. Dimana negara tersebut mendapatkan bonus kunjungan dari wisatawan asing dan para pencari kerja dari berbagai penjuru Eropa. Sehingga Turki menjadi negara satu-satunya kedua setelah Jerman yang tidak terimbas krisis finansial di Eropa beberapa tahun lalu.
Sebagai akademisi ia menilai, seharusnya yang perlu dibenahi adalah keseriusan Pemda dalam rencana pembangunan infrastruktur jalan dengan tujuan kemudahan logistik. Selain itu, Pemda harus aktif memperjuangkan Raperda terkait investasi dan industri skala menengah di sejumlah daerah.
‘’Semisal menggagas perkebunan kakao skala daerah dengan kemudahan investasi dan pabrik manufakturnya di Kaltara,’’ bebernya.
Kemudahan investasi juga menyangkut raperda tentang lahan. Pemda harus membuat blue print atau kerangka kerja terperinci tentang pusat industri kecil, menengah dan besar yang menyambungkan kawasan dengan proteksi secara ekonomi dan politik dengan membangun sentra perdagangan dan jasa.
‘’Momentum 2024 merupakan pertanda bagi Provinsi Kaltara untuk lepas landasan di segala bidang, bukan berjalan di tempat dan terjebak pada seputar permasalahan yang sama setiap tahunnya,’’ tegasnya.
Sebagai akademisi, Irsyad berpendapat bahwa fenomena tersebut merupakan momen yang kerap muncul pada pesta demokrasi 2024. Pola pikir masyarakat di daerah sudah terkotak-kotak oleh Partai Politik (Parpol). Artinya tidak lagi bicara tentang perkembangan daerah 100 tahun mendatang.
Dalam ranah kebijakan publik, sebuah kebijakan dibuat harus dengan memadukan antara 3 unsur diantaranya, riset, perencanaan dan implementasi. Jika kebijakan dibuat hanya sekedar panggung politik maka yang terjadi tidak terukur dan sekedar merangkul kelompok tertentu saja.
Irsyad membeberkan dampak kerugian yang akan dialami daerah jika anggota DPRD memaksa memasukkan produk yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan tertinggi dari segala aspek diantaranya Secara politik, hilangnya sensitivitas politik lokal yang berdampak terhadap kesejahteraan ekonomi yang sebagian besar dirasakan oleh masyarakat di daerah.
‘’Percuma membuat perda yang pada akhirnya juga mencederai hierarki peraturan diatasnya, yang ada justru akan menimbulkan kekacauan dalam pengelolaan pemerintahan daerah,’’ imbuhnya.
Dalam satu sisi, perda mengijinkan, sementara disisi lain aturan negara ditabrak. Dikhawatirkan bakal ada 2 institusi yang nanti akan saling klaim kebenaran. Pada akhirnya akan tercipta disharmoni antara hubungan pusat dan daerah yang akan menjustifikasi kehadiran mafia kecil di daerah yang merasa kepentingannya terganggu. Dalam hal ini, kecendrungan lost capital atau kerugian yang terjadi ketika asset modal menurun nilainya akan berdampak besar secara nasional.
Secara ekonomis, efek Raperda hanya akan dirasakan segelintir masyarakat yang memang berprofesi pada sektor tersebut. Sementara sektor lain yang lebih potensial tidak tergarap optimal. Yang ada PAD tetap jalan di tempat sementara tidak terdapat nilai tambah yang signifikan.
Secara Sosial, masyarakat semakin konsumtif dan tidak lagi menyukai produksi dalam negeri karena beranggapan barang bekas layak pakai sebagai trend yang wajib dimiliki. Selain itu, secara budaya, kebanggaan terhadap produk daerah semakin terpinggirkan sehingga muncul budaya pamrih dan ingin dikenang sebagai warisan semakin menjadi parameter budaya di daerah.
‘’Publik tidak memiliki budaya tentang apa yang dihasilkan, tetapi berubah menjadi bagaimana menghasilkan,’’ tuturnya.
Jika sudah terdapat regulasi yang melarangnya, seharusnya pemerintah ataupun pihak legislatif membuat terobosan membuat raperda tentang investasi barang-barang reproduksi ataupun rekondisi atau mirip tapi tidak sama.
Ia menilai jika barang reproduksi, rekondisi dan rekontruksi memiliki nilai tambah yang lebih besar dibandingkan barang layak pakai atau bekas. Berdayakan BUMD yang dalam kondisi sekarat dalam kerjasama investasi dan pemasaran. Karena barang tersebut juga dapat termasuk sebagai komoditas ekspor ke depannya dengan memanfaatkan SDM lokal dengan tata marketing yang baik.
Ia menyampaikan, sudah waktunya para pemangku kepentingan daerah berfikir tentang asas dan manfaat jangka panjang dalam membuat suatu kebijakan. Karena kebijakan yang baik adalah kebijakan yang dapat menyejahterahkan seluruh kalangan.
‘’Apalagi proses pembangunan nasional saat ini berorientasi pada kreatifitas dan inovasi daerah dalam membangun sumber perekonomian secara skala nasional,’’ terangnya.
Dalam hal ini, Irsyad menyarankan kepada pelaku ballpres agar melakukan peningkatan diri dengan rajin mendengar, membaca dan berdiskusi agar tidak terkecoh dengan pernyataan terkait rancangan perda tentang ballpress.
‘’Bagi anggota DPRD, tantangan ke depan akan jauh lebih berat, maka dibutuhkan kekuatan analisa, inovasi dan kreatifitas dalam membuat suatu kebijakan yang berorientasi kesejahteraan dan lebih mengutamakan daerah daripada politik nasional,’’tutupnya.(*)
Reporter: Okta Balang
Editor: Ramli