Inner Child, Trauama Masa Kecil yang Membentuk Kepribadian Anak

benuanta.co.id, TARAKAN – Bagi sebagian orang, peristiwa masa kecil sering kali membentuk kepribadian. Kadang kala, peristiwa masa kecil yang biasa disebut sebagai inner child ini membawa kebiasaan bahkan trauma tersendiri bagi penderitanya. Maka diperlukan waktu untuk memulihkannya.

Konselor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sedungan Kota Tarakan, Ratih Musfianita menjelaskan secara umum inner child adalah sifat kekanak-kanakan pada orang dewasa. Di mana hal tersebut merupakan pengaruh dari pengalaman masa lalu. Selain itu, inner child juga berhubungan dengan pola asuh orang tua.

“Hal tersebut tidak bisa dipungkiri, pola asuh orang tua berperan penting untuk perkembangan anak, dan pola asuh yang merupakan salah satu penentu pembentukan perilaku anak ketika tumbuh dewasa,” ucapnya Senin (26/Juni/2023).

Ratih mengatakan berbagai bentuk pengaruh dari pengalaman masa lalu, seperti pola asuh, bahkan orang tua yang pemarah.

“Ada banyak orang tua yang penuntut, yang selalu meminta agar anak harus mengikuti keinginan orang tua tanpa menanyakan apa keinginan anak, selain itu orang tua pemarah yang selalu membentak. Bahkan anak sering mendapatkan kekerasan verbal, fisik, psikis dari lingkungan keluarga, sekolah, ataupun lingkungan rumah,” terangnya.

Ratih menegaskan, bahwa tidak ada ciri spesifik mengenai inner child, namun, hal tersebut bisa dilihat dari manajemen emosinya. Artinya, emosi negatif tidak bisa di kontrol, seperti mudah marah, mudah tersinggung, mudah ringan tangan terhadap hal sepele, selain itu mudah cemas atau gelisah.

Lebih dalam, Ratih menerangkan, Ketika dihadapkan pada suatu masalah sendiri orang tersebut sering menghindar atau memerlukan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya.

Selain itu, orang yang mengalami inner child memiliki kepribadian yang kurang percaya diri. Baik terhadap kemampuan diri atau pada penampilannya, hal tersebut membuat orang tersebut memiliki kepercayaan terhadap orang lain dan mudah curiga.

“Tidak serta merta orang yang mengalami hal yang dijelaskan mengalami inner child karena bisa saja hal tersebut merupakan reaksi spontan. Jadi, tidak ada ciri spesifik ihwal inner child,” ungkapnnya.

Ratih menuturkan beberapa cara agar dapat berdamai dengan inner child. Pertama, jiwa inner child harus mengetahui terdapat masa lalu atau luka lama maupun luka batin yang belum terselesaikan.

“Karena dengan kita sadar, kita jadi lebih paham tentang keadaan pada diri sendiri,” ucapnya.

Selain itu, yang perlu dilakukan adalah berbicara terhadap diri sendiri bahwa penderita harus merelakan hal yang telah terjadi. Pada intinya, agar bisa berdamai dengan inner child adalah butuh proses, dan hanya diri sendiri yang mampu mengalihkan hal negatif menjadi positif.

“Harus mengiklaskan apa yang sudah terjadi di masa lalu. Hal tersebut tidak akan bisa diubah selain diri sendiri yang menerima keadaan tersebut. Jadi, diri kita sendiri lah yang bisa memutuskan, apakah inner child ini harus jadi pendorong atau penghambat diri kita dalam menjalani kehidupan,” bebernya.

Ratih menyarankan agar permasalahan yang dihadapi tidak dipendam sendiri. Hal tersebut bisa dikomunikasikan kepada orang yang dapat dipercaya. Inner child yang tidak dapat dikenali tentu akan berdampak negatif pada kehidupan sehari-hari.

“Silahkan sharing dengan orang terdekat atau orang terpercaya. Hal tersebut akan mencari generasi berikutnya, terutama ketika kita sudah berkeluarga, bisa saja menurun ke anak cucu kita. Jika hal tersebut berat untuk disampaikan, sebaiknya segera konsultasi ke psikoloh terdekat,”tutupnya. (*)

Reporter: Okta Balang

Editor: Nicky Saputra 

Calon Pemimpin Kaltara 2024-2029 Pilihanmu
803 votes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *