Anak Penombak Sawit Sukes di Kota Metropolitan

LAHIR sebagai seorang anak di kota kecil Nunukan yang letaknya di ujung utara perbatasan Indonesia-Malaysia, bukan menjadi penghalang untuk berkembang di kota besar. Hal ini dibuktikan dengan kisah seorang pemuda perbatasan yang mampu bertahan di kehidupan Kota Makassar. Meski dalam tubuhnya tidak mengalir setetes darah keturunan ningrat dan hanya lahir dari rahim seorang petani, dengan bermodalkan tekad, usaha, keringat dan doa tulus dari sang ibundanya ia mampu menaklukkan Kota Metropolitan.
—————————————————————————————————————————————————————

Pemuda ini ialah Ilham, anak petani penombak sawit dari pasangan suami istri Rahmatia dan Baharuddin (Almarhum), yang lahir 28 tahun silam di Desa Tabur Lestari, Kecamatan Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan. Sejak kecil, ia sudah merasakan bagaimana kerasnya kehidupan di wilayah perbatasan yang serba terbatas, bahkan dalam hal pendidikan. Setelah menyelesaikan sekolahnya di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di desanya. Ilham remaja merantau melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Nunukan. Memilih hidup sendiri di Kecamatan Nunukan, ia tak ingin menjadi beban meski jauh dari orang tuanya. Anak ke 6 dari 7 bersaudara ini memutuskan diri untuk mencari pekerjaan sampingan sembari menuntut ilmu.

Di saat teman-teman sebayanya menghabiskan waktu sepulang sekolah untuk istirahat dan menikmati indahnya masa putih abu-abu, tidak bagi Ilham. Di umurnya yang masih muda, pulang sekolah ia menyempatkan diri beristirahat sejenak di kamar kosnya. Ketika jam di kamarnya menunjukan pukul 16.00 Wita, ia langsung bangun dan bergegas untuk bekerja di salah satu toko alat perlengkapan hingga pukul 22.00 Wita.

“Dari kelas 1 SMA itu saya sudah kerja di toko All-Farizi, awalnya bos saya sempat ragu juga mau terima karena anak sekolah pasti tidak akan bertahan. Tapi Alhamdulillah sampai lulus SMA saya kerja di situ,” ucap Ilham sambil tersenyum.

Meski kala itu gajinya hanya Rp300 ribu per bulan, bagi Ilham upah itu sudah lebih dari cukup. Dengan uang itu, ia tak perlu lagi meminta tambahan dari orang tua untuk biaya kosnya. Meski jarang ada waktu untuk berkumpul bersama teman sekolahnya, ia selalu menyempatkan diri dua minggu sekali menemui orang tuanya di Sei Menggaris meski harus menyebrangi sungai dengan perahu ketinting.

Setelah lulus dari bangku SMA pada 2015 lalu, sempat terbesit dari hati kecilnya untuk menjadi seorang Polisi.Namun kala itu semangatnya seolah dipatahkan dengan doktrin yang mengatakan jika ingin mendapatkan seragam coklat, memerlukan biaya yang besar. Sedangkan kondisi keluarganya seolah tak memungkinkan untuk mengantarkannya menjadi Polisi, belum lagi ia juga memiliki adik bungsu yang masih membutuhkan biaya sekolah. Apalagi, ketika ia melihat usia Etta (panggilan akrabnya kepada sang bapak) sudah tidak muda lagi, Ilham pun akhirnya mengubur dalam-dalam impian sedari kecilnya itu.

“Jadi waktu itu niatku mau kerja sajalah ikut Etta tombak sawit, tapi ada pengumuman Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) saya lulus di Universitas Negeri Makassar (UNM) jurusan Teknik Elektro, itu dulu yang daftarkan langsung dari sekolah,” sahutnya.

Meski dinyatakan lulus masuk di salah satu Universitas bergengsi di Makassar tanpa tes dan biaya pendaftaran, Ilham muda sempat berfikir untuk tidak mengambil kesempatan itu, karena melihat kerasnya kehidupan di Makassar. Belum lagi ia juga disadarkan dengan kenyataan hanya “anak petombak”. Baginya, tentu tidak akan mungkin bisa bertahan hidup di kota besar. Namun, harapannya mulai muncul ketika orang tuanya memberikan ridho dan dukungan agar ia mengambil kesempatan emas itu. Sebulan usai pengumuman, ia pun berangkat ke Kota Makassar dengan menggunakan kapal laut.

Akan tetapi, saat itu dengan mata berkaca-kaca sambil menundukkan kepalanya, Ilham kembali bercerita dengan nada sedikit kecil. Seminggu sebelum masuk kuliah sebagai mahasiswa baru, ia mendapat kabar jika sang ayah yang ia panggil sebutan Etta itu telah berpulang ke Yang Maha Kuasa.
“Ingat sekali saya itu bulan Agustus 2015, seminggu sebelum mulai kuliah Etta ku meninggal, langsung saya berfikir untuk tidak usah saja sudah kuliah karena Etta sudah tidak ada, tapi mamaku bilang lanjut sekolah lah nak kalau rezeki Insyaallah ada saja jalannya itu,” ungkapnya sambil terduduk seolah mengisyaratkan kesedihannya mengingat masa itu.
Ilham sejatinya sadar diri jika ia kini hanya seorang anak yatim yang merantau. Namun ia tahu harapan besar orang tuanya ingin ia suatu saat pulang dengan membawa gelar sarjana untuk membanggakan mereka.

Kerasnya kehidupan mulai ia rasakan di kota yang penuh dengan gemerlapan lampu di setiap sudut bawah gedung-gedung tinggi. Ia pun merasa bagaimana bisa anak dari desa bertahan hidup dengan uang seadanya di kota sebesar Makassar. Meski begitu, ia tak pernah merasa malu sedikitpun. Untuk mengisi perutnya sehari-hari, ia mengambil pekerjaan sampingan setelah pulang kampus sebagai pelayan di warung kopi (warkop) di pinggir jalan dengan gaji Rp700 per bulan.

Karena yang dihasilkan hanya pas-pasan, ia mencoba peruntungan lain dengan bekerja sebagai penjual ayam crispy gerobakan dengan gaji Rp1 juta. Akan tetapi, jam kerjanya saat itu biasa berbenturan dengan mata kuliahnya, sehingga ia memutuskan untuk berhenti sejenak bekerja agar bisa fokus mengingat tujuan utamanya ke Makassar untuk kuliah.

“Sebenarnya enak sekali itu waktu saya kerja di penjual ayam crispy, maklum anak kos-kosan, kalau pulang kerja bosku selalu kasih ayam buat dimakan jadi hidup terus kita. Cuman ada jam mata kuliah yang tabrakan makanya saya berhenti dulu bekerja,” bebernya.

Sambil menyeruput secangkir kopi panas di sebuah cafe di Nunukan saat sore itu, Ilham sangat bersemangat melanjutkan kisahnya. Diungkapkannya, beberapa bulan setelah berhenti bekerja, ia kemudian menghubungi orang tuanya di Nunukan melalui telpon seluler dengan maksud untuk meminta uang sebesar Rp500 ribu untuk keperluan alat praktek kuliahnya di Semester III.

Akan tetapi, lanjut Ilham dengan nada gemetar dan meneteskan air mata. Kala itu ia merasa seperti menampar dirinya sendiri setalah mendengar ibunya dengan nada terbata-bata seolah menahan tangisannya sambil berkata “Nak mama minta maaf sekali, tapi sudah tidak ada apa-apa lagi, sisa doa saja yang sekarang bisa mama kiriman nak”.
Sambil mengusap wajahnya, Ilham menyatakan jika perkataan sang Ibundanya itulah yang menjadi motivasi dan tekadnya untuk bisa bertahan hidup menaklukkan Kota Metropolitan, dengan tetes keringatnya sendiri dan bekal doa Ibunya hingga ia bisa menjadi pengusaha muda seperti saat ini.

“Kalau orang tanya kenapa bisa ada di titik ini sekarang, jawabannya karena orang tua. Jadi setelah selesai menelpon itu, di situlah saya bertekad mulai detik ini harus berusaha dan sukses dengan keringatku sendiri, kata-katanya beliau itu yang jadi titik balik dalam hidupku,” ungkapnya dengan penuh semangat.

Sejak saat itu, ia pun kembali bekerja di tempat percetakan sablon baju milik para senior kampusnya pada pertentangan tahun 2016 hingga 2019 lalu. Karena terlalu bersemangat mengais rezeki, ia sering mengambil waktu lembur di malam hari padahal esok harinya ia harus kuliah. Hingga akhirnya, tubuhnya yang kurus itu sudah tak mampu lagi mengimbangi kegigihannya dalam bekerja, jauh dari orang tua dan tak punya satupun sanak saudara. Ilham jatuh sakit hingga harus dirawat selama sepekan di rumah sakit.

“Sampai kena tipes itu dulu, kan kalau kerja begitu semakin banyak baju kita kerjakan semakin banyak bonus di dapat. Terlalu bersemangat cari bonus sering lembur, kurang tidur, baru makan juga tidak teratur jadilah itu penyakit. Itulah kerasnya hidup tidak kerja tidak makan,” tuturnya sambil tertawa lepas.

Setelah bekerja selama 3 tahun di percetakan sablon milik seniornya, Ilham mulai berfikir untuk membuka usaha sendiri. Dengan melihat potensi usaha sablon, menurutnya sangat menjanjikan. Berbekal pundi-pundi yang ia sisihkan selama ini dari gajinya Rp 2,3 juta perbulan, ia memutuskan untuk merintis usaha sablon sendiri sembari kuliah.
Walaupun tidak memiliki basic maupun pengalaman di bidang desain, dengan modal nekat ia akhirnya mengajak salah satu temannya untuk menggeluti bisnis itu. Bahkan, usaha itu mereka bangun hanya di dalam kamar kos dengan alat seadanya. Hingga akhirnya mereka mampu menyewa rumah kontrakan.

“Tidak ada basic desain jadi kami modal nekat saja, pesanan kami kerjakan di kamar kos, tapi Alhamdulillah orderan lancar mengalir sampai kami bisa sewa kontrakan,” ujarnya.

Kurang lebih selama 1 tahun 8 bulan usaha rintis itu mulai unjuk gigi dengan usaha sablon lainnya yang ada di Kota yang dikenal dengan sebutan Daeng itu. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, visi dan misi yang ia dengan rekannya itu sudah tak sejalan lagi, sehingga Ilham mengalah dan melepaskan usahanya itu ke tangan rekannya dan hanya mengambil uang Rp 10 juta sebagai kompensasi.

Setalah itu, di tahun 2021 itu juga, tak mau terpuruk terlalu lama ia kemudian kembali membangun usaha sablonnya dari awal lagi seorang diri. Meski dalam tubuhnya tidak ada tetes darah keturunan pengusaha, tapi ia bertekad akan bisa membuktikan jika segala sesuatu bisa dilakukan jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh. Ia sempat terhening sejenak seolah mengingat masa-masa itu. Ilham lalu kembali melanjutkan ceritanya sambil tertawa geli, ketika mengingat di pekan pertama ia mempromosikan usaha sablon barunya di sosial media. Ia sontak kaget, karena langsung mendapatkan orderan 100 pcs baju untuk di sablon sedangkan posisinya ia sama sekali belum memiliki peralatan.

Bak kesempatan tak datang dua kali, saat itu pun Ilham tak ingin menolak rezeki yang datang di depan mata. Dengan modal hasil kompensasi, ia lalu berbelanja meja sablon dan alat-alat pendukung lainnya hingga harus membayar total uang sekira Rp 19 juta. Padahal, uang yang saat itu ada ditangannya hanya Rp 10 juta. Beruntung saja, ia mempunyai senior tempat kerja sablon pertama kalinya dulu bersedia meminjamkannya uang.

“Senior ku ini baik sekali, waktu saya sampaikan tidak cukup uang dia bilang ambil mi saja alat-alat pake uangku nanti kurangnya itu bayar cicil saja dan Alhamdulillah, dalam waktu 3 bulan saya dirikan itu usaha langsung saya lunasi hutang itu dan cari tempat baru,” kisahnya.

Kurang lebih sebulan menjalankan usahanya seorang diri, Ilham kemudian merekrut juniornya yang memiliki kemampuan desain untuk berkerja dengannya. Bahkan setiap ada pelatihan desain, Ilham selalu mendaftarkan karyawannya itu untuk terus mengasah dan menambah ilmunya. Bahkan sekarang, ia sudah memiliki 6 orang karyawan. Sebab ia tahu persis bagaimana rasanya hidup sebagai mahasiswa di perantauan.

Seiring berjalannya waktu, Ilham akhirnya memberikan nama usaha sablonnya dengan Bahasa Inggris “Wakeup” yang artinya bangun. Dijelaskannya, filosofi nama tersebut ia gunakan karena menceritakan bagaimana terpuruknya ia hidup di kota besar dengan lika-liku perjalanan hidup yang ia alami. Sehingga kata itu menyadarkan dirinya untuk harus terus bangun meski jatuh, sebab yang mampu membangun diri saat jatuh ialah keinginan kita sendiri bukan orang.

“Kata orang nama adalah doa, ini adalah doa buat saya untuk terus bangun dan bangun. Jika jatuh bangun lagi dan saya berharap teman-teman yang lain juga bisa menyadarkan dirinya untuk terus bangun berjuang melawan kerasnya kehidupan. Tidak semua orang mau menopang saat kita jatuh, tapi kalau niat kita sendiri yang bangun, apapun bisa kita lakukan dan yang terpenting selalu minta doa restu orang tua,” ucapnya.

Meski kini usahanya bisa dibilang sudah menghasilkan, Ilham yang kala itu, bekerja dan membangun usaha sambil kuliah bisa terus melanjutkan pendidikannya hingga mendapatkan gelar sarjana pada 2022 lalu, meski harus memakan waktu 7 tahun lamanya. Tapi, ia sangat bersyukur bisa lulus kuliah dengan biaya sendiri, hingga bisa membiayai sekolah adik bungsunya bahkan menciptakan lapangan kerja sampingan untuk anak perantauan.

Kini dalam waktu sebulan, omzet usahanya sudah bisa mencapai puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Terkadang ia sendiri juga seakan tak percaya ia bisa menaklukkan Kota Metropolitan. Bagaimana tidak, ia yang awalnya hanya merantau untuk kuliah sambil kerja sampingan, namun kini sudah memiliki usaha sendiri dan mempekerjakan orang lain.
Di umurnya yang masih 28 tahun, ia akan terus mengembangkan usahanya di Makassar bahkan ia berharap beberapa tahun ke depan bisa membuka usaha percetakan sablon dan toko baju sendiri di Kabupaten Nunukan.

“Saya lahir dan besar di sini, tentu saya akan kembali ke Nunukan. Saat ini saya masih fokus kembangkan dulu di Makassar, setelah itu ke depannya saya punya cita-cita untuk bangun usaha yang sama dan punya toko baju sendiri di sini,” jelasnya. (*)

Penulis : Novita Andarias Karangan
Editor : Nicky Saputra

WhatsApp
TERSEDIA VOUCHER

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *