TAK selamanya menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) itu indah. Ada kalanya seorang PMI menjalin kehidupan sulit hingga masa – masa yang suram. Bahkan, para PMI terlantar dan tak mendapatkan perhatian dari Negara. Hanya segelintir manusia yang memiliki jiwa sosial yang mau memberikan perhatian kepada para PMI. Terlebih mereka adalah PMI illegal, sudah tentu Negara tak melirik penderitaan mereka. Namun tak bagi Soge, ia hadir bak dewa penyelamat bagi kalangan PMI di Negeri Jiran, Malaysia. Bagaimana dedikasi Soge bagi PMI di Malaysia hingga diganjar Anugerah Hasan Wirajuda Award dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Simak secuil kisah Soge si manusia penggiat sosial.
===================
Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Negara Tetangga Malaysia, potret aktivitas ilegal seakan menjadi pemandangan lumrah di daerah berjuluk Penikindi Debaya ini. Setiap tahunnya, ratusan bahkan ribuan PMI Unprosedural dipulangkan secara paksa oleh Pemerintah Malaysia hanya karena kedapatan masuk ke negara berjuluk ‘Singa Malaya’ tersebut secara ilegal. Setibanya di Nunukan, tidak sedikit pula eks PMI deportan justru terkatung-katung tanpa tujuan yang jelas. Kondisi ini pula menjadi asbab pendorong bagi sosok bernama lengkap Yohanes N Soge Makin, S.Ag, mendedikasikan dirinya untuk turun langsung mengurus para PMI dengan selayak – layaknya manusia. Pria ramah 58 tahun ini tampak antusias dan semangat dalam mengutarakan kisah perjalanan hidupnya dalam memberikan sumbangsinya kepada para eks deportan dan anak PMI di Perbatasan.
Lahir di Kabupaten Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1965 silam, Soge kecil mengaku telah diajarkan untuk peduli terhadap sesama dan selalu berbuat baik kepada semua orang dengan tidak memandang status sosial, agama, suku maupun ras seseorang. Setamatnya dari pendidikan menegah atas, Soge muda yang sangat bercita-cita menjadi seorang guru itu tak mampu melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, lantaran kondisinya sebagai anak seorang petani yang serba berkekurangan.
Ketika sejumlah teman sebayanya saat itu mulai melanjutkan pendidikannya. Tapi tidak bagi Soge muda, ia harus mengubur sejenak mimpinya dan memutuskan untuk mencari biaya kuliah dengan merantau ke Negeri Jiran Malaysia. Soge mengikut sejumlah warga NTT berpergian ke Malaysia, kala itu. Saat tiba dan mendapat jaminan pekerjaan selama lima tahun di Sabah, Malaysia. Selama di sana, ia akhirnya menyaksikan bagaimana menderitanya para PMI yang justru masuk secara ilegal. Tidak sedikit pula dari mereka harus kucing-kucingan dengan Polis Diraja Malaysia.
“Kalau dulu itu kita lihat PMI saat pulang kampung mereka memakai segala-galanya layaknya orang sukses, tapi di sana saya melihat sendiri mereka sangat menderita. Apalagi yang tidak punya dokumen itu seperti pencuri saja, harus sembunyi-sembunyi dari Polis Diraja Malaysia,” ujar Soge yang duduk santai dengan segelas teh hangat di kursi sofa berwarna merah tua, petang itu.
Penderitaan PMI yang ia saksikan, cukup menyayat hatinya. Bagaimana tidak, penampakan para PMI yang terikat kerja, hingga tidak memiliki kebebasan lantaran semua dokumen ditahan oleh para majikan. 5 tahun berselang, Soge merasa apa yang ia hasilkan di Malaysia telah cukup untuk membiayai kuliahnya dan memutuskan pulang ke tanah air. Bukannya melanjutkan pendidikan, sesampainya di Nunukan, Soge justru memutuskan menjadi guru pembantu di Sekolah Katolik selama beberapa tahun. Di sela-sela menjadi tenaga pengajar, pada tahun 2002 terjadi pemulangan paksa secara besar-besaran yang dilakukan oleh Pemerintah Malaysia kepada ribuan PMI melalui jalur Tawau ke Nunukan.
Saat itulah, ia terinspirasi dan mempunyai dorongan dari dalam dirinya untuk membantu para PMI. Namun ia sadar, jika hanya bermodalkan dirinya saja tentu tidak akan bisa berbuat apa-apa, sehingga muncul niatan untuk membuat lembaga yang saat itu dinamakan Pelangi Nusantara. Nama Pelangi Nusantara sendiri mengandung makna Nunukan sebagai daerah transit para PMI dari berbagai jenis keragaman suku, agama, ras, bahasa, warna kulit yang berbeda. Sehingga warna – warni pelangi itu melambangkan keberagaman.
“Di tahun 2002 itulah asal – muasal berjalanlah lembaga ini dengan apa adanya. Karena memang saya sendiri tidak punya apa-apa hanya modal rasa kemanusiaan dan kepedulian saya kepada saudara kita ini,” ucap Soge sembari mengingat secara kembali perjalanannya.
Melalui lembaga itu, Soge kemudian memanfaatkan untuk melakukan kolaborasi dengan lembaga luar dan ia pun mendapatkan partner sebuah yayasan yang berada di Sabah Malaysia. Namun saat itu Pelangi Nusantara hanya mendapatkan bantuan berupa pakaian bekas atau rombengan selama 5 tahun.
Meski hanya pakaian bekas, Soge merasa itu sungguh sangat berarti untuk para PMI yang dideportasi dari penjara, meski hanya untuk memberikan kehangatan ditubuh mereka. Soge merasa sangat sedih melihat luka-luka dan penyakit kulit yang dialami para PMI selama hidup di dalam penjara Malaysia. Akan tetapi karena yayasan yang dibangunnya belum mendapatkan Legalitas dari pemerintah dan belum terlalu familiar di masyarakat, sehingga terbesit keraguan orang untuk membantu yayasan yang dibangunnya.
Berkat konsistensinya itu, sebuah kesempatan yang cukup membekas bagi Soge ketika dia terpilih dan mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Pastoral IPI Malang dengan mengambil jurusan Guru Agama Katolik. Disanalah, ia bertekad untuk membela saudara-saudara PMI yang ada di Malaysia dan merangkul mereka dengan penuh kasih. Setelah mendapatkan gelar sarjananya, Soge kemudian pulang dan kembali mengabdikan diri menjadi guru agama di SMA Katolik Santo Gabriel Nunukan, dan tekat Soge untuk membantu para PMI masih sangat menggebu-gebu.
Ia kemudian mendapatkan kesempatan bersama dengan Pastor untuk melakukan pelayanan di Sabah dan disana ia melihat begitu banyak anak-anak PMI yang tidak bersekolah, sebagai seorang guru ia begitu sedih dan tergerak untuk mendirikan sebuah sekolah di sana. Akhirnya pada tahun 2006 dengan bantuan Gereja dari Uskub di Kota Kinabalu dan Singapura. Berkat perjuangannya itu ia pun mendirikan sekolah bagi tingkat TK, SD dan SMP di Malaysia yang dikhususkan untuk anak-anak PMI yang tidak pernah merasakan pendidikan di bangku sekolah yang dinamai Fransisko Yasinta dengan menyediakan asrama bagi putra dan putri anak PMI.
Sekolah tersebut terus berjalan, hingga akhirnya pada tahun 2016, Soge kembali memiliki niat untuk mendirikan SMA di sana. Hal ini karena Soge melihat anak-anak PMI yang sudah lulus dibangku SMP terpaksa kembali ke perkebunan sawit bersama orang tua mereka dan bekerja. Di sini, ia merasa anak-anak tersebut harus melanjutkan sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam waktu sebulan sekali Soge selalu berangkat ke Malaysia untuk mengajar anak-anak PMI.
Dengan modal nekat, ia kemudian kembali mendirikan SMA di Sabah meski hanya untuk kelas 10 dan 11 saja. Bahkan hal ini sempat mendapatkan tentangan dengan penolakan dari pihak Konsulat Republik Indonesia, namun karena kegigihannya, akhirnya semua berjalan sebagaimana yang ia harapkan. Kemudian, anak-anak ini dibawa ke Indonesia untuk melanjutkan SMA di kelas 12 untuk mengikuti ujian akhir sekolah sehingga bisa mendapatkan Ijazah di SMA Katolik Nunukan.
“Itu berjalan selama 2 tahun, jadi anak-anak yang naik ke kelas 12 saya bawa ke Nunukan agar mereka bisa ikut ujian dan mendapatkan ijazah. Karena keinginan saya, bagaimana anak-anak ini tidak menjadi PMI seperti orang tua mereka,” harap Soge samari melemparkan senyum.
Seiring berjalannya waktu, Soge terus berusaha agar Yayasan Pelangi Nusantara bisa mendapatkan legal standing sehingga lebih leluasa memberikan pelayanan kepada mereka yang membutuhkan khususnya para PMI maupun eks PMI di Perbatasan. Ia pun memulai dengan melakukan pengajuan pada tahun 2020 silam, hanya saja, langkahnya itu sempat mendapat penolakan dari Pemerintah Daerah. Soge merasa, mungkin karena basicnya yang hanya seorang guru tidak memiliki kemampuan finansial dan kemampuan untuk bisa mengembangkan Yayasan tersebut.
Meski begitu, Soge tak patah semangat. Ia terus berusaha bagaimana pun caranya agar mendapatkan legalitas. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang notaris yang bersedia membuatkan akta untuk Yayasannya tersebut. Hanya saja, masalah lain kemudian menghampirinya penamaan bagi Yayasan Pelangi Nusantara ditolak oleh Kementrian Hukum dan HAM, lantaran nama tersebut telah digunakan dan didaftarkan oleh organisasi lain. Sehingga singkat cerita ia pun memutuskan mengganti nama dengan Yayasan Muara Kasih Semesta hingga saat ini.
Pada tahun 2022 lalu, Yayasan Muara Kasih Semesta yang dibangunnya akhirnya mulai berkolaborasi dengan Badan Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kaltara, Dinas Sosial dan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Nunukan.
“Kebetulan Kepala BP3MI Kaltara Pak Kombes Ginting ini jiwa kemanusiaannya sama seperti saya, jadi setiap ada deportasi PMI dari Malaysia saya selalu hadir di Pelabuhan dengan membawa Soundsytem untuk menyambut mereka sebagai Pahlawan Devisa Negara yang sudah sampai di tanah air, mereka tidak perlu lagi merasakan takut dan merasa sangat dihargai,” ungkapnya.
Soge menyampaikan, ia hanya bisa memberikan apa yang ia bisa lakukan. Saat itu, ia juga tengah membangun sebuah rumah singgah di Jalan Selisun, khusus untuk PMI Ibu-ibu dan anak-anak. Karena Soge merasa Rusunawa yang selama ini menjadi tempat penampungan PMI tidak memberikan kenyamanan bagi mereka. Ditanya soal hal yang paling berkesan selama mengurus PMI, diakui Soge, saat ia harus mengurus PMI yang mengalami gangguan kejiwaan.
“Saat itu saya lagi mengajar di sekolah, lalu dapat telpon dari pak Ginting saya disuruh ke pelabuhan, karena kebetulan aparat keamanan dan petugas yang ada di pelabuhan sudah angkat tangan tidak bisa mengevakuasi orang tersebut, karena dia sangat sensitif sekali dan mudah marah, jadi saat itu juga saya langsung ke pelabuhan,” bebernya.
Sesampainya di pelabuhan, Soge melihat kakek ini begitu terlihat tidak terurus, menggunakan baju sebanyak 18 lapis dan dia tidak mau dibuka. Kebetulan, kata Soge, kakek usia 63 tahun tersebut merupakan saudaranya sesama warga NTT. Untuk meluluhkan hati sang kakek, Soge menggunakan bahasa daerah dan menyampaikan dengan penuh kasih dan sangat menghormati kakek ini, hingga akhirnya kakek ini merangkul pinggangnya, lalu ia bersama kakek tersebut keluar dari kapal dan naik ke Dermaga Pelabuhan.
Soge mengungkapkan, setidaknya kurang lebih 2 pekan lamanya kakek tersebut tinggal dan dirawat oleh Soge di rumahnya layaknya orang tuanya sendiri, mulai dari membersihkan diri, mencukur janggut, rambut serta memandikan sang kakek tersebut.
Selama merawat kakek ini, berbagai cara dilakukan Soge untuk menghiburnya, dengan memasang musik asal daerah mereka, lalu bernyanyi dan menari bersama. Bahkan Soge biasa menggunakan baju daster istrinya dan perlahan membuat kakek ini mampu meredam amarahnya dan mulai bisa tersenyum dan tertawa.
Soge menyampaikan, ini merupakan pengalaman yang paling berkesan seumur hidupnya dan menganggap kakek ini adalah tamu spesial di rumahnya. Kepulangan sang Kakek sangat membuat Soge sedih dan merasa kehilangan. Bagaimana tidak, sambil tersenyum Soge menceritakan kisahnya yang makan berdua bahkan tidur satu kasur dengan orang tersebut.
“Sewaktu hari Paskah lalu, saya Vidio Call dengan beliau. Dia sudah sadar waktu itu bahkan menangis saat menyampaikan ucapan terima kasih dan permintaan maafnya kepada saya karena ia merasa mungkin saat itu ia ada berlaku kasar. Saya juga sudah berjanji nanti kalau panjang umur ada waktu saya pulang ke NTT saya akan berkunjung ke tempat beliau,” kisah Soge dengan nada berat seakan menahan kesedihannya mengingat masa – masa itu.
Selama mendedikasikan dirinya untuk mengajar dan berkegiatan sosial itu, lanjut Soge, Ia bahkan tak sempat kepikiran untuk berumah tangga. Namun ia percaya jodoh sudah diatur sang Maha Kuasa. Di usia 44 tahun, Soge bertemu dengan istrinya yang umurnya terpaut beberapa tahun, dan sekarang telah dianugerahi 3 orang anak. Selama mengabdikan dirinya sebagai pegiat pelindung pekerjaan migran banyak hal yang telah dikorbankan oleh Soge, terutama waktu bersama keluarga kecilnya itu.
“Saya sering meninggalkan mereka, kalau saya ke Malaysia untuk mengajar atau berkunjung ke penjara-penjara di sana itu keluarga saya tinggalkan,” ucapnya.
Istrinya bahkan sempat berpikir, jika Soge lebih perhatian dengan orang lain karena sering meninggalkan keluarga. Namun, berjalannya waktu, kini sang anak dan istri sudah bisa memaklumi dan mendukung apa yang dilakukan olehnya. Bahkan, sang istri biasa membantu Soge dengan mencuci lampin bekas yang ia bawa dari Malaysia untuk nantinya dibawa ke perbatasan tempat para pekerja sawit yang memiliki anak kecil namun tidak memiliki lampin. Di usianya yang sudah menginjak 58 tahun ini, Soge mengaku jika semangatnya tak akan pernah luntur, dan akan terus menggebu-gebu untuk mengabdikan diri dan masa tuanya untuk membantu dan melayani sesama tanpa memandang suku, agama dan ras.
“Makanya teman-teman biasa bilang, kau ini Soge sudah tidak muda, sambil mengajar tapi kegiatan sosial juga bisa jalan terus. Di situ saya bilang itu semua bisa kita lakukan dengan membagi waktu, kalau zaman sekarang anak-anak sekolah bisa kita berikan pembelajaran dengan manfaat sosial media, kalau untuk pekerja migran ini, kalau kita lalai dan tidak memperhatikan mereka bisa saja mereka mendapatkan masalah bahkan hingga kehilangan nyawa,” ujarnya.
Atas dedikasinya itu, belum lama ini, Soge akhirnya terpilih sebagai penerima Hasan Wirajuda Award dari Kementerian Luar Negeri untuk Kategori Masyarakat Madani yang berjasa pada perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di Perbatasan. Soge berkomitmen dengan penghargaan tersebut akan terus menjadi penyemangat baginya untuk berbuat yang terbaik dengan apa yang ia miliki. Dia juga berharap bagi para PMI yang berada di Penjara Malaysia bisa segera dipulangkan dalam keadaan sehat tanpa kekurangan satu apapun.
Selain itu, ia juga berpesan agar pendidikan para anak-anak PMI tersebut, menjadi perhatian khusus sehingga mereka tetap melanjutkan pendidikan hingga di bangku kuliah dan suatu saat bisa sukses di negara sendiri tanpa harus merantau menjadi PMI seperti orang tua mereka. Ia juga berharap, Yayasan Muara Kasih tidak hanya untuk PMI saja melainkan bagi siapapun baik orang dengan gangguan kejiwaan, penyandang disabilitas dan eks PMI di Kabupaten Nunukan. (***)
Penulis : Novita Andarias Karangan
Editor : Nicky Saputra