benuanta.co.id, TARAKAN – Fenomena Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kota Tarakan menurut dinas sosial semakin hari tampak semakin meningkat di Kota Tarakan. Pemerintah dianggap melakukan pembiaran tanpa melakukan penanganan terhadap mereka.
Pantauan benuanta.co.id selama 30 hari di Kota Tarakan, terdapat sejumlah ODGJ yang berdiam di tempat tertentu, ada yang berkeliaran di jalanan, ada pula ODGJ yang meminta uang secara paksa kepada warga yang ditemuinya. Bahkan ada sejumlah pemilik usaha yang konsisten memberikan makanan dan minuman ke ODGJ tertentu karena merasa iba.
Pak Peh (56) pemilik warung kopi menjelaskan bahwa pemberian makan dan minum agar ODGJ tersebut tidak duduk berlama-lama di warung, karena di anggap mengganggu kenyamanan bagi pengunjung lain.
“Saya paham orang gila sungguhan dan yang berpura gila. Orang gila asli tidak paham uang, orang berpura gila paham pasti paham uang. Saya tidak rugi memberi makan kepada orang gila, asalkan mereka tidak berlama-lama di warung, takutnya pelanggan jadi risih,” ucap Pak Peh pemilik warung kopi di bilangan Tarakan Barat.
Sementara Ningsih (25) pemilik gerai minuman mengaku sering didatangi ODGJ, namun yang diminta bukanlah makanan dan minuman, melainkan meminta uang.
“Sebelumnya saya pernah memberi minuman, namun pemberian saya di tolak, ODGJ tersebut malah memaksa untuk diberikan uang, saya heran, ODGJ kok paham uang,” kesalnya.
Menyikapi Fenomena tersebut, Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, Arbain menjelaskan maraknya ODGJ di Kota Tarakan disebabkan pemerintah belum memiliki Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk menampung ODGJ.
“Bahwa, ruangan teratai di RSUD Jusuf S.K memiliki kapasitas terbatas untuk menampung ODGJ, lantas mereka yang masih berkeliaran di jalan mau di taruh di mana, hal tersebut menjadi harapan supaya Provinsi Kalimantan Utara memiliki Rumah Sakit Jiwa,” tutur Arbain.
Arbain menilai, kehadiran ODGJ menjadi persoalan tersendiri, Kota Tarakan untuk ke depannya akan dihadapi dengan kemunculan sejumlah ODGJ yang baru, karena kehidupan bukanlah kehidupan yang lalu, artinya tuntutan zaman dan persaingan semakin berat. Hal tersebut menjadi salah satu indikator munculnya Fenomena tersebut.
Sementara, di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) setiap provinsi disyaratkan memiliki RSJ, hal tersebut di atur dalam UU No. 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, Pasal 52, ayat 2, disebutkan bahwa, Pemerintah daerah provinsi wajib mendirikan paling sedikit satu rumah sakit jiwa.
Arbain menuturkan, ODGJ tidak boleh berkeliaran di jalan, hal tersebut di anggap mengganggu kenyamanan dan ketertiban kota. Jika ada laporan ODGJ membahayakan masyarakat, Dinsos bersama tim yang tergabung dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tarakan dan juga Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) akan membawa ODGJ tersebut ke rumah sakit.
“Untuk level provinsi kita belum memiliki, lalu mereka yang berkeliaran di jalan mau di tampung di mana, akhirnya masyarakat menilai pemerintah melakukan pembiaran, selain itu ada 100 ODGJ yang terdata, termasuk yang berkeliaran di jalan dan di ruang teratai, sisanya yang tidak terdeteksi,” ucapnya.
Arbain menuturkan, dinsos bertugas sebagai pendamping ODGJ seperti menghantarkan ODGJ ke RSJ, membantu berkomunikasi, mencari identitas ODGJ, setelah sembuh, keluarga ODGJ akan dipanggil. Jika bukan warga Kota Tarakan, ODGJ tersebut akan dipulangkan ke daerah asalnya.
“Ada berapa ODGJ yang telah di rujuk ke rumah sakit umum. Namun, jika pihak rumah sakit anggap mereka sudah sehat, maka ODGJ tersebut dikeluarkan dari ruangan, bagi saya pribadi, hal tersebut tidak dapat membuat ODGJ sembuh total, karena mereka perlu penanganan khusus. Satu sisi, pemerintah pun memiliki keterbatasan tempat untuk menampung mereka,” bebernya.
Arbain berharap kepada semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap ODGJ, untuk dapat membentuk yayasan penanganan ODGJ di Kota Tarakan. Selain meringankan beban pemerintah kota, hal tersebut guna menuntaskan permasalahan ODGJ di Kota Tarakan maupun di Provinsi Kalimantan Utara.(*)
Reporter: Okta Balang
Editor: Ramli