benuanta.co.id, TARAKAN – Pemerintah telah melarang bisnis thrifting atau jual beli pakaian bekas yang kebanyakan hasil impor. Pakaian bekas impor itu dianggap dapat mengganggu industri tekstil dalam negeri.
Di tengah tren maraknya bisnis pakaian bekas impor saat ini menimbulkan pro dan kontra. Pengamat ekonomi di Kalimantan Utara (Kaltara), Dr. Margiyono, S.E., M.Si., mengatakan bisnis pakaian bekas ini sangat merugikan.
“Pandangan saya terhadap impor dan bisnis pakaian bekas itu sangatlah merugikan, baik secara finansial, ekonomi dan bahkan secara diplomasi negara,” ucapnya saat dihubungi benuanta.co.id, Selasa (21/3/2023).
Menurutnya dampak dari bisnis pakaian bekas tersebut merugikan secara ekonomi, karena barang-barang bekas yang diimpor adalah barang tidak diproduksi di dalam negeri, sehingga dalam prosesnya tidak memiliki dampak terhadap penggunaan input-input produksi, seperti melibatkan tenaga kerja, mesin, bahan baku dan modal.
Ia juga menganggap bahwa impor pakaian bekas seharusnya dikurangi untuk meningkatkan pemberdayaan produk lokal dalam negeri, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri menggunakan produk sendiri.
“Jika seperti itu akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, mengurangi pengangguran, mengurangi kemiskinan, kan begitu,” ujarnya.
Selain itu, Margiyono juga menambahkan jika dari sudut pandang finansial akan berdampak pada pendapatan negara, karena banyak impor pakaian bekas ilegal yang marak terjadi, sehingga proses masuknya barang tersebut tidak ada biaya yang dipungut oleh negara, baik itu melalui bea cukai maupun pajak.
“Barang-barang bekas itu masih dipertanyakan legalitasnya, jika ilegal maka berpotensi mengurangi pendapatan negara,” bebernya.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan (UBT) tersebut juga menerangkan akibat bisnis dari thrifting ini juga secara tidak langsung akan berdampak pada diplomasi negara, karena barang bekas tersebut telah tercatat di negara asalnya, perspektifnya jika tercatat maka akan memberikan penilaian kurang baik terhadap negara penerima barang tersebut.
“Saat menggunakan barang tersebut, self image negara kita akan turun, dan kita akan dinilai sebagai kelompok inferior (bermutu rendah), karena mau menerima barang-barang yang tidak digunakan oleh mereka dan bahkan malah diperjual belikan di negara kita,” pungkasnya.(*)
Reporter: Hendra Rivaldo
Editor: Ramli